Saturday, April 21, 2007

JAQUES DERRIDA

Jika suatu saat kita mendengar seseorang berbicara tentang Jaques Derrida mungkin secara spontan akan terbersit dalam pikiran kita suatu konsep darinya, yaitu dekonstruksi, suatu konsep yang ingin meruntuhkan tradisi pemikiran-pemikiran para filsuf sebelumnya dalam konteks rasionalisme barat dan metafisikanya. Sepertinya dengan dekonstruksi, ia ingin berargumen secara kritis terhadap tradisi yang sangat mempertahankan kehadiran dalam proyek metafisika, kebenaran yang ada pada dirinya, dan kesuperioran bahasa lisan terhadap tulisan.
Pemikiran filosofis Derrida lebih merupakan suatu usaha untuk menanggapi atau menolak pemikiran yang berbasis metafisika atau kehadiran. Ia berargumen terhadap pemikiran-pemikiran tersebut, menginterogasinya, kemudian mendekonstuksinya. Kelihaiannya dalam ketidaksetujuan terhadap para filsuf sebelumnya mewarnai dunia filsafat sekarang ini. Ia kini menjadikan suatu pemikiran sebagai “teks” yang selalu menunjuk pada yang lain dan yang tidak akan pernah berhenti, atau tidak sampai pada yang absolut.
Maka untuk memahami kelihaiannya dalam berfilsafat, penulis akan menjabarkan pemikiran-pemikirannya dari yang sederhana sampai yang rumit agar pembaca dapat lebih mudah memahami pemikiran Derrida. Tulisan ini akan diawali dengan sejarah singkat dan juga karya-karyanya untuk memperlihatkan latar belakang konsep dekonstruksinya. Kemudian penulis akan menjelaskan tentang Derrida dan dekonstruksinya lewat butir-butir Ada sebagai kehadiran, trace, gramatologi, dan différance. Setelah menjelaskan pemikirannya ini penulis akan memberikan tanggapan seperti mengapa filsuf ini begitu ingin untuk menjalankan proyek dekonstruksi? Mengapa ia tidak senang dengan yang struktural? Ke-manakah dunia ini akan dibawanya?


I. SEJARAH SINGKAT JAQUES DERRIDA

Derrida merupakan seorang filsuf Prancis yang radikal dengan ciri berhingga-nya. Ia selalu menolak berbagai pandangan dari para filsuf sebelumnya dan menyatakan bahwa segala sesuatu menunjuk pada yang lain. Ia merupakan pribadi yang sangat kompeten dan peduli dengan filsafat. Hal ini ia buktikan dengan keaktifannya dalam memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada taraf sekolah menengah.
Ia lahir pada 1930 di Alegeria dan wafat pada 2004. Ia belajar di Ecole normale superieure dan pernah mengajar di sana juga. Ia datang ke dunia filsafat dengan mempertanyakan metafisika kehadiran-nya para filsuf sebelumnya.
Ia juga banyak menyumbangkan tulisan di dunia filsafat. Karya-karyanya juga diminati banyak orang, terutama karena kekritisannya dalam merefleksikan filsafat-filsafat sebelumnya dengan bahasa dan juga pengertiannya sendiri. Karya-karyanya dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut: Introduction in Edmund Hussrel (1962), La Voix et la phénoméne (1967), De la Grammatologie (1967), L’Écriture et la Différence (1967), Marges – de la Philosophie (1972), Glas (1974), Éperons: les Styles de Nietzsche (1978), De l’esprit: Heidegger et la Guestion (1987), Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority” (1992), Spectres de Marx (1993), dan masih banyak lagi karyanya hingga akhir hayatnya.

II. DERRIDA DAN DEKONSTRUKSI

Konteks Historis
Untuk memahami lebih dalam mengenai pemikiran Derrida, kita diharapkan telah membiasakan diri dengan pemikiran para filsuf Barat seperti Kant, Hegel, Marx, Nietzsche, Husserl, Heidegger, Levinas, Saussure, Levi-Straus, Austin, Foucault, dan Freud. Para filsuf inilah yang mendorong pemikiran Derrida. Dalam karya-karyanya, Derrida pun juga menafsirkan ulang pemikiran beberapa filsuf modern dan kontemporer ini. Nah, lewat tafsiran-tarfsirannya inilah Derrida mengawali pemikirannya yang bertemakan “Dekonstruksi”.
Pemikiran Dekonstruksi ini merupakan jawaban atas situasi pemikiran yang dikuasai post-Hegelian yang sangat menekankan metafisika. Dalam “dunia yang lupa akan Ada ,” metafisika selalu menjadi tema yang utama dan tetap. Pemahaman seperti ini sepertinya telah dikembangkan oleh Kant dan bahkan Descartes. Maka, dogma-dogma metafisika dan bahasa-bahasa metafisika yang merupakan tradisi lama menjadi bahan kritikannya.
Dalam karya-karya awalnya, Derrida masuk ke dalam proyek fenomenologinya Husserl. Di sini Husserl hanyalah melanjutkan tradisi metafisika untuk mendapatkan kebenaran sebagai kehadiran pada dirinya. Selain Husserl, Derrida juga memakai beberapa pemikiran Heidegger di mana ada juga beberapa yang dibantahnya. Derrida sempat tenggelam dalam pemikiran Heidegger bahwa pemikiran bukanlah yang menentukan bahasa melainkan bahasalah yang menentukan pikiran. Jika pikiran itu selalu terbatas oleh bahasa yang berhingga yang tidak bisa menjadi ‘master’ maka bisa dikatakan bahwa pikiran dapat menimbulkan masalah-masalah tentang cara-cara berbahasa yang telah ditentukan. Maka, dengan mempelajari pemikiran-pemikiran para filsuf yang berpengaruh, ia menemukan teorinya yang sama sekali bertolak belakang dengan pemikiran mereka.
Konsep dekonstruksi Derrida merupakan suatu perubahan istilah yang sebelumnya pernah dikatakan oleh Heidegger, yaitu mengenai destruksi. Dalam Sein und Zeit, Heidegger menganjurkan diadakannya destruksi terhadap konsep-konsep metafisika. Pen-destruksi-an ini dikhususkan pada metafisika yang sangat setia terhadap struktur. Tujuannya adalah untuk merenggangkan cara berpikir yang memang sudah terstruktur ini atau dengan kata lain untuk membebaskan cara berpikir yang terstruktur (de-structuring). Heidegger ingin manusia berpikir dengan cara pandang yang original .
Konsep dekonstruksi Derrida hampir sama dengan konsep destruksi Heidegger. Namun, Derrida tidaklah kembali pada yang original. Ia menyatakan bahwa segala sesuatu adalah teks. Dengan pandangan ‘teks’ ini, ia menolak tradisi metafisika filsafat barat dalam mengungkap kehadiran pada dirinya yang dinyatakan sebagai kebenaran yang absolut dan ditandai melalui bahasa lisan. Realitas adalah teks dan memiliki ciri berhingga.


Ada sebagai Kehadiran
Dalam pandangan filsafat Derrida, filsafat dan ilmu pengetahuan adalah hal yang sama secara fundamental. Ia menolak adanya pandangan akan pertentangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang selalu berada dalam kondisi yang satu menyingkirkan yang lain atau yang satu mencuri tempat yang lain. Memang sekarang ini ilmu pengetahuan lebih dikembangkan namun itu bukan berarti pengetahuan memojokan filsafat. Mereka itu dalam kesamaannya berakar dalam rasionalitas. Nah, rasionalitas itulah yang membuat mereka berada dan dapat berlangsung sampai saat ini.
Dengan berdasar pada rasionalitas, Derrida mengungkap pemikirannya. Ia mencoba mengungkap Ada yang dimengerti sebagai kehadiran. Untuk mengujinya ia masuk ke dalam metafisika, tetapi bukan metafisika seperti yang dimaksud filsuf-filsuf modern atau filsuf-filsuf sebelum dia melainkan lewat tanda. Metafisika bagi Derrida merupakan suatu usaha pengulangan untuk menegaskan kehadiran pada dirinya . Kehadiran manusia itu ada karena ada tanda yang dijelaskan dengan bahasa. Dalam tradisi metafisika, tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir . Tanda hanyalah pengganti sementara hadirnya objek. Dengan tanda, misalnya sebuah nama, dapat menggantikan orang yang tidak hadir ketika namanya disebut.
Kehadiran, bagi Derrida, tidak bersifat independen atau mendahului tulisan dan tuturan. Kehadiran ada dalam jaringan yang menunjuk yang satu kepada yang lain, misalnya saja kata-kata menunjuk kepada kata-kata yang lain, teks menunjuk kepada suatu jaringan teks-teks lain. Maka tanda bagi Derrida adalah seperti itu, suatu kehadiran dalam suatu jaringan tanda menunjuk yang satu kepada yang lain. Di sini, ia secara radikal menolak “logosentrisme ”, yaitu pemikiran tentang Ada sebagai kehadiran. Dalam hal ini, Derrida memutarbalikan pandangan metafisika, yaitu tanda dalam rangka Ada sebagai kehadiran. Kehadiran juga harus dimengerti sebagai sistem tanda.

Tanda sebagai Trace (bekas)
Kemudian dalam memikirkan tanda, ia memikirkan tanda sebagai trace (bekas). Trace itu tidaklah mempunyai substansi dan tidak dapat dimengerti tersendiri, dengan kata lain trace terisolasi dari segala sesuatu yang lain. Trace dimengerti sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Maka, trace itu bukan akibat, melainkan sebab. Akibat dari sebab itu adalah kehadiran. Dengan begitu Ada yang hadir bagi dan pada dirinya disangkal karena kehadiran adalah akibat dari trace. Tanda selalu mendahului kehadiran, tanda selalu sebelum objek, dan objek timbul dalam jaringan atau rajutan tanda. Gelas yang kita pakai tidaklah menunjuk kepada gelas itu sendiri sebagai hadir pada dirinya melainkan gelas yang menunjuk kepada hal-hal yang lain (sebagai trace).
Selanjutnya oleh Derrida, jaringan atau rajutan tanda disebut “teks” atau tenunan . Baginya segala sesuatu yang ada merupakan teks, segala sesuatu selalu saling tenun menenun dan bersambungan. Tak ada sesuatu di luar tenunan (teks). Maka dengan teks Derrida masuk ke dalam intersubjektifitas karena teks selalu menunjuk sesuatu yang lain (berkaitan). Teks mampu membuka peluang bagi orang-orang yang cerdas untuk menafsirkan dan melampaui berbagai kemungkinan segala sesuatu di dunia ini dalam abstraksi mereka masing-masing sesuai dengan konteks zamannya. Hal ini juga berlaku dengan makna, di mana makna tertenun dalam teks. Makna menunjuk pada sesuatu yang lain. Makna tidak hadir bagi dirinya sendiri. Makna tidaklah melebihi teks atau tak lepas dari teks sehingga tak ada makna transendental (signifie transendental). Itu sama artinya dengan hal yang hadir bagi dirinya sendiri, bukan teks.

Gramatologi
Derrida selalu bertindak lain dari yang lain. Ia tidaklah mengikuti pengertian para filsuf pendahulunya mengenai perbedaan tanda dan simbol. Ia menolaknya dan menyatakan bahwa setiap tanda bersifat arbitrer dan tidak menuntut kodrat seperti adanya. Pandangan akan simbol yang mempunyai hubungan natural dengan apa yang ditujukannya serta tanda yang bersifat arbitrer ia kesampingkan.
Tanda baginya adalah tanda yang menunjuk kepada tanda yang lain (gramma). Dengan begitu, ia menyatakan pemikirannya akan gramatologi . Pemikiran akan gramatologi merupakan penolakan atas fonetis, yang memprioritaskan tuturan di atas tulisan. Dengan gramatologi, ia memulai ilmu tentang tekstualitas. Ia memeriksa filsafat bukan dalam hal-hal yang dikatakan dengan “suara lantang”, melainkan dalam teksnya dalam tulisannya yang ternyata tidak selalu sama dengan apa yang dikatakan secara eksplisit dan terang-terangan .
Tanda yang bersifat arbitrer dan tidak menurut kodrat menjadikan Derrida menjunjung tulisan sebagai prioritas. Setiap macam bahasa menurut kodratnya adalah tulisan. Tulisan itu terlihat sebagai eksterior dari pikiran karena tulisan itu berfungsi terus walaupun tanpa kehadiran penulisnya. Sedangkan bahasa lisan hanyalah suatu ekspresi dari pikiran yang hanya bisa didengar namun di dalamnya juga sudah terkandung logos. Dengan begitu bisa diartikan bahwa bahasa lisan dipahami sebagai pemikiran tentang Ada sebagai kehadiran atau pemikiran metafisis karena menurut Derrida ciri khas metafisika adalah penentuan ada sebagai kehadiran dalam segala pengertian dari kata. Maka Dekonstruksi Derrida dalam hal ini adalah usaha untuk mengatasi metafisika atau mengutamakan bahasa tulisan. Dekonstruksi di sini merupakan suatu usaha untuk membawa tulisan sebagai tulisan ke tulisan (to bring writing as writing to writing) . Tulisan akhirnya menjadi otonom dan mampu menjadi trace dari ketidakhadiran. Dan kehadiran dalam bahasa lisan dianggap sebagai suatu ilusi dan tidak asli. Derrida menjadikan kehadiran atau metafisika sebagai suatu trace dan bukan lagi suatu kebenaran yang absolut.

Différance
Pemikiran akan différance merupakan penekanan yang dilakukan Derrida untuk memperjelas kesulitan menamakan yang pertama atau yang pusat. Ini adalah jalan kemungkinan berpikir yang membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis di mana bahasa ditujukan untuk mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada dirinya.
Différance itu beda dengan différence atau différer. Dalam kamus Prancis kata différer mengandung arti berbeda, bertolak belakang, tidak mempunyai kesamaan (kata kerja intransitif) dan menunda, menangguhkan, mengundurkan waktu (kata kerja transitif) . Kata différance mensubstansikan kata kerja différer dan dengan itu meliputi kedua artinya. Différance sendiri adalah syarat kemungkinan untuk timbulnya konsep atau kata. Maka, différance tidak pernah dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap dengan kehadiran.
Adanya pemikiran tentang différance merupakan suatu keinginan untuk tidak berada dalam metafisika. Dengan kata lain, Derrida berusaha untuk melebihi metafisika, melampaui pemikiran yang ditandai kehadiran. Maka différance itu sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam suasana atau kerangka kehadiran atau metafisis.
Penjelasan lebih lanjut mengenai différance, agar menjadi jelas untuk dipahami, dibedakan menjadi empat arti , yaitu:
1. Différance menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Différance adalah proses penundaan yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli.
2. Différance adalah gerak yang mendiferensiasikan karena différance bergerak dalam oposisi terhadap konsep-konsep.
3. Différance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dalam setiap struktur.
4. Différance juga dapat menunjukan berlangsungnya perbedaan antara Ada dan adaan, suatu gerak yang belum selesai.

Différance bagi Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan jatuh pada metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan tekstual. Dengan pemikiran ini ia menolak penjadian différance sebagai suatu makna transendental. Différance juga menganut tekstualitas, menunjuk pada yang lain. Bagi Derrida tak ada identitas terakhir di sini. Maka bisa dikatakan bahwa realitas itu menunjuk pada yang lain dan tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah keradikalan Derrida dalam filsafatnya yang berciri berhingga . Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk suatu dimensi tak berhingga.

III. TANGGAPAN
Dalam setiap tulisannya dan mungkin setiap karyanya Derrida selalu meluncurkan proyek dekonstruksi. Ia sepertinya hampir tidak pernah setuju dengan pandangan berbagai filsuf. Ia terkesan ingin melihatnya dalam suatu pandangan yang baru. Misalkan saja seperti pemikiran Ada sebagai kehadiran, trace, gramatologi, différance merupakan butir-butir pemikirannya untuk mendekonstruksikan pemikiran-pemikiran yang sudah ada. Ada kesan bahwa ia seorang filsuf yang menolak struktur, struktur yang telah dibentuk oleh tradisi rasionalisme barat. Derrida juga terkesan tidak mau menyelesaikan sesuatu dengan sesuatu yang final. Ia menolak adanya pemikiran yang berujung pada akhir yang pasti atau absolut. Ia memberikan wacana yang luas yang terus mengalir dan menjadi bagi manusia tanpa harus terikat dengan narasi yang ada sebelumnya. Ia juga penyumbang pemikiran posmodernisme.
Derrida bisa dikatakan seorang penerus Heidegger yang sama-sama mengkritik habis-habisan rasionalisme barat. Gaya mengkritiknya sering disebut gaya yang tak lazim dalam berfilsafat, seperti menghindari upaya argumentatif dalam membangun proyek filsafat, bermain-main, alusif, literer . Usaha mengkirtiknya ini menghasilkan suatu pemikiran bahwa filsafat bukan lagi suatu reprsentasi kebenaran dunia di luar sana. Bahasa lisan adalah instabil yang tidak memungkinkan lagi lahirnya makna yang berbeda berdasarkan konteks. Baginya, segala sesuatu adalah teks dan kenyataan filosofis adalah kenyataan tekstual.
Kemudian, masa depan bagi Derrida bukanlah sesuatu yang akan sampai pada kesempurnaan atau kepenuhan. Masa depan menurutnya sedang dalam proses, sedang diciptakan, dan sedang ditulis di sini dan sekarang ini karena masa depan juga bersifat tekstual. Masa depan tidak lagi terstruktur dan seorang pemain drama tidak lagi butuh naskah yang menyulitkan dan menyusahkan. Mengapa? Karena dunia Derrida adalah dunia tanpa pusat. Sebuah dunia yang terbuka dan tanpa batas. Sebuah dunia yang akan terus menjadi dan mengalir .



DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K, 2002, Sejarah Filsafat Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius
Coker, John C, 2003, Derrida dalam The World’s Great Philosophers oleh Robert L Arrington (ed), Oxford: Blackwell
Cutrofello, Andrew, 1998, Jaques Derrida dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy oleh Edward Craig, dkk (eds) Vol. II, London: Routledge
Hakim, Abdul, 2001, Diskursus Filosofis Modernitas: Debat Jurgen Habermas dengan Jaques Derrida, dalam majalah Driyarkara, tahun XXV, no. 2
Hardiman, F. Budi, 1993, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius
Johnson, Christopher, 1997. Derrida, New York: Routledge
Mudhofir, Ali, 2001, Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sim, Stuart, 1999, Derrida dan akhir sejarah (terj), Yogyakarta: Jendela
Sim, Stuart, 1998, J, Derrida dalam One Hundered Twentieth Century Philosophers oleh Stuart Brown (ed), London: Routledge

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home