Saturday, April 21, 2007

Who has the last word?

Sebuah Debat antara Natural Law dan Common Law
oleh Windar Santoso


Natural Law dan Common Law merupakan dua konsep hukum yang kerap diperjuangkan oleh beberapa filsuf. Pendukung Natural Law biasanya adalah orang-orang yang royal dengan kerajaan dan pendukung Common Law adalah rakyat di mana dengan hukum tersebut rakyat bisa berpartisipasi menuju kesejahteraan bersama . Thomas Aquinas dengan konsep hukumnya mengajak manusia untuk setia pada Gereja dan negara. Hal ini diterapkan karena adanya konsep Lex Euterna dan Lex Naturalis yang harus diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari dan akibatnya raja menjadi penentu utama dalam sistem hukum ini di mana adanya raja karena ia dipercaya atau diturunkan oleh Tuhan lewat berbagai rahmat. Dengan konsep ini monarki konstitusional berkembang, namun inilah yang menjadi perdebatan kemudian di zaman pencerahan. Raja tidaklah lagi memegang tumpuk kekuasaan secara dominan. Rakyat dalam perkembangan hukum suatu negara telah diikutsertakan lewat suatu parlemen. Tujuannya adalah untuk kesejahteraan bersama maka semua rakyat harus ambil bagian dan tidak hanya raja saja. Untuk mengawali perdebatan ini, kita mulai dengan pandangan dari Sir Thomas Smith.

Sir Thomas Smith merupakan salah satu penyokong konstitusi Inggris. Ia menetapkan bentuk konstitsionalisme dengan bukunya De republica Anglorum. Lewat buku tersebut ia mengintepretasikan sistem politik dan pemerintahan di Inggris semasa Elisabeth. Interpretasi ini merupakan pengembangan dari pemahaman Sir John Fortescue di mana menurutnya rakyat harus ikut berpartisipasi dalam praktek-praktek politik dan hukum. Sir John Fortescue mengawali pemahamannya dengan membandingkan hukum di Inggris dan Prancis. Rakyat, menurutnya, harus diberikan wadah yaitu dengan parlemen dan sistem ini merupakan perlawanan sistem di Prancis yang monarki absolut. Dengan konsep yang lebih bebas ini, smith merepresentasikan semua orang dalam satu parlemen. Ia mengembangkan doktrin yang telah melampaui sistem “raja dalam parlemen ”. Level seorang pangeran sampai ke orang-orang kalangan bawah adalah sama. Maka persetujuan atau keputusan akhir dalam suatu sidang merupakan persetujuan atau keputusan bersama semua orang. Selain itu negara juga sudah terlepas dari Gereja yang menjadikan negara Inggris sendiri sebagai pencipta dan penjamin hukum dan undang-undang negara yang tidak ada kaitannya dengan Gereja. Raja di sini merupakan pemegang kekuasaan negara dan Gereja. Namun dalam sistem pemerintahan ini terdapat sketsa kekuasaan yang tidak boleh disalahartikan. Di sini ada pembagian yang jelas yaitu kekuasaan tertinggi dalam legislasi, keuangan, dan hukum bisa dikuasai oleh raja, tuan-tuan atau umum sedangkan persoalan penunjukan pegawai pemerintahan dan tentang peperangan dan perdamaian hanya dimiliki oleh pemegang tumpuk pemerintahan (the crown). Raja dan juga the crown memiliki kedua kekuasaan ini.

Bagi Richard Hooker rasionalisasi yang dibuat Smith haruslah dikatikan dengan Natural Law. Hukum yang dikembangkannya merupakan suatu kombinasi antara konsep-konsep hukum skolastik dengan konsep-konsep tradisional dari Common Law. Hooker memang menyetujui Thomas Aquinas namun ia mengurangi segi kekuasaan Paus di dalamnya terhadap negara Inggris. Sebagai penggantinya raja dijadikan kepala pemerintahan dan juga Gereja. Partisipasi semua orang dalam parlemen masih dilanjutkan seperti Smith. Hal ini berasal dari pandangannya yang menjadikan hukum sebagai sistem koheren dari dunia sebagai keseluruhan, yaitu hukum abadi, hukum natural, hukum para malaikat, dan hukum manusia. Hukum abadi dan Natural Law itu kekal dan tidak dapat diubah sedangkan hukum para malaikat dan hukum manusia dapat diubah bahkan dilanggar. Alsannya karena manusia milik dari kerajaan Tuhan dan binatang maka dalam setiap tindakan-tindakan manusia memang sering melanggar namun secara general tujuan tindakannya adalah menuju pada Tuhan atau pada yang baik. Dalam hukum manusia di mana itu merupakan hukum rasional atau positif menjelaskan bahwa hukum itu sebagai aturan tegas akan proses tindakan-tindakan menuju kebaikan. Hukum rasional lahir dari banyak alasan atau sebab dan tidak langsung ada begitu saja. Maka menurut Hooker hukum rasional dapat dimengerti tanpa adanya bantuan dari pewahyuan. Hukum manusia berisi hukum-hukum di mana semua orang dapat memahaminya secara sederhana dan kemudian dapat membimbingnya ke dalam tindakan-tindakan. Hukum manusia yang berasal dari alam memberikan hukum yang cocok untuk dihidupi. Dengan teori ini Hooker menuju pada komunitas hukum yang hidup tidak berdasarkan kontrak melainkan hakikat persahabatan dan hidup bersama. Oleh Hooker ini disebut sebagai hukum kesejahteraan. Untuk sampai ketujuan ini Hooker tetap menyetujui adanya partisipasi dari parlemen sebagai representasi dari semua rakyat. Sekali lagi Hooker mengharapkan bahwa keputusan ada di tangan komunitas, yaitu the crown dan rakyat.

Hooker dan Sir Thomas Smith memformulasikan implikasi filsafat dan hukum dalam perkembangan politik Inggris. Hukum dilihat sebagai dasar dari susunan konstitusional dan mampu menopang persetujuan umum. Dan dari situ semua hukum menjadi berkualitas. Namun persoalan masih saja muncul yaitu keputusan terakhir ada di mana, di raja atau parlemen. Dalam perkembangan selanjutnya debat ini semakin memanas terutama dengan bahasan dari James I, Edward Coke, dan Francis Bacon. Permasalahan yang muncul dikarenakan parlemen dijadikan institusi hukum positif di mana raja juga ada di dalamnya. Perdebatan para filsuf dalam menentukan who has the last word? dilatarbelakangi oleh pemikiran Natural Law dan Common Law. Bacon dan James I merupakan para penganut Natural Law dan Edward Coke bernaung dalam Common Law .

Edward Coke menekankan fungsi hukum suatu parlemen. Sumber segala hukum adalah parlemen namum itu memiliki batasan yang digariskan oleh Common Law . Coke percaya bahwa dalam banyak kasus, Common Law mengontrol tindakan-tindakan parlemen dan bahkan mengatur mereka agar tidak melakukan hal yang bukan-bukan. Parlemen tidak bisa berlawanan dengan Common Law. Namun praktis hukum yang berdasar pada Common Law ini hanya sah bila telah diputuskan dalam suatu pengadilan. Coke merasa bahwa tidaklah perlu peranan Natural Law karena interpretasi hukum untuk mengatur negara dalam kehidupan sehari-hari telah dicukupi oleh Common Law. Pendapat ini sangatlah beda dengan James I dan Francis Bacon yang mengikutsertakan Natural Law dalam hukum. Francis Bacon sendiri sepertinya setuju dengan apa yang dikumandangkan Coke. Ia menerima adanya Common Law yang berada di antara hukum lainnya, misalnya undang-undang. Namun ia menyatakan bahwa ada sesuatu yang yang berada di atas Common Law atau ada alasan atau sebab lain yang menjadi dasar. Francis Bacon menyatakan bahwa itu adalah Natural Law. Dari sinilah kekuasaan tertinggi didapatkan—kekuasaan merupakan bukti kepercayaan Tuhan kepada sang “Raja” . Bacon berharap bahwa dengan kekuasan ini badan pemerintahan, termasuk parlemen, mampu mengurus hukum untuk mengatur negara.

Perdebatan antara Coke dan James I berkisar seputar kekuasaan tertinggi dan hak prerogatif. James I sangat mendukung adanya hak prerogatif. Hak prerogatif ini dimiliki oleh para pemegang pemerintahan di mana dengan hak tersebut mereka bisa bertindak tanpa ada pertintah atau tuntutan dari hukum yang berlaku, dalam arti lain mereka bisa melawan hukum . Prerogatiof merupakan kekuatan khusus dan istimewa dari raja karena raja itu sendiri memiliki hak di atas segala orang dan diatas Common Law. Raja mendapatkan ini hanyalah karena suatu rahmat dari yang ilahi, yaitu instrinsik prerogatif. Raja dapat membantah semua hukum-hukum positif hanya dengan hak prerogatif ini. Coke mati-matian menolak hak ini. Hukum haruslah memiliki kekuatan dan siapa pun harus tunduk pada hukum ini. Rakyat harus dipartisipasikan dan didaulatkan agar kesejahteraan bersama dapat tercapai dan kesamaan di hadapan hukum dapat diwujudkan. Bila hak prerogatif disahkan maka negara akan kembali pada doktrin-doktrin abad pertengahan.

Perdebatan antara kelima tokoh ini selalu berujung pada kedaulatan rakyat di mana raja tidak lagi menjadi figur yang dominan. Tujuan adalah untuk kesejahteraan rakyat dan untuk mewujudkannya harus ada kesamaan dalam hukum. Dengan begitu rakyat dapat masuk ke parlemen dan menjadi sama dengan seorang raja. Keputusan yang terakhir adalah keputusan bersama namun bagaimana bila ada masalah yang sulit dipecahkan dan harus dibuat keputusan, siapakah yang menentukan keputusan akhir, raja atau parlemen? Berlanjutlah perdebatan antara Natural Law dan Common Law dalam dunia modern ini. Walaupun ada perdebatan siapakah pemegang keputusan terakhir, apakah itu raja atau parlemen, namun secara real kekuasaan masih menjadi sesuatu yang tidak bisa disangkal. Dalam konteks ini kekuasaan elite atau estate masih menjadi yang kuat.


DAFTAR PUSTAKA
Copleston, Frederick. A History of Philosophy Vol. IV, London: Burns & Oats, 1959
Friedrich, Carl Joachim. The Philosophical of Law in Historical Prespective, Chicago: The University of chicago, 1963
Schmandt, Henry J. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home