Saturday, April 21, 2007

Strukturalisme dan Analisis Semiotik terhadap Budaya

GERAKAN STRUKTURALIS muncul seperti gelombang pasang laut di tahun 50 an, dan secara radikal telah mengubah jalan pikir orang terhadap budaya pada saat itu. Meski demikian, pada kenyataannya, para strukturalis telah meletakkan suatu landasan berpikir yang akan berpengaruh semenjak pertengahan pertama abad 20.

KARAKTERISTIK STRUKTURALISME

1. Kedalaman menjelaskan permukaan. Kepercayaan sentral dari strukturalisme adalah bahwa kehidupan sosial adalah sesuatu yang superficial. Di baliknya, terdapat mekanisme-mekanisme tersembunyi yang senantiasa diwariskan.

2. Kedalaman itu terstruktur. Terdapat struktur-struktur yang terdiri dari berbagai elemen yang mengkombinasi, menjadi suatu lapisan kehidupan sosial.

3. Analis bersifat obyektif. Para strukturalis cenderung untuk menilai dirinya sendiri sebagai terpisah.

4. Budaya analog dengan bahasa. Strukturalisme dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh penyelidikan-penyelidikan dalam ranah linguistik. Oleh karena itu, mereka meyakini budaya juga sebagai sistem tanda, sebagaimana bahasa dimengerti dari relasi antara bunyi dan kata-kata. Keduanya sama-sama membawa pesan.

5. Mengatasi humanisme. Pendekatan struktural cenderung untuk meminimalisir peran manusia sebagai subyek dan menekankan peran yang determinatif dari sistem budaya. Selain itu, pemikiran Strauss menandai karakteristik pendirian pendekatan struktural yang bersifat decentering the subject, yaitu memindahkan ‘manusia yang sadar’ dari pusat analisis (berbeda jauh dengan rival semasanya, yaitu Sartre).

FERDINAND de SAUSSURE

Ferdinand adalah seorang linguis kebangsaan Prancis, yang baru setelah kematiannya dipandang sebagai seorang pemikir garis depan di abad 21. Kuliah-kuliahnya dibukukan dalam Course in General Linguistic. Dalam buku tersebut, dia meletakkan fondasi strukturalisme baik untuk mendekati bahasa, maupun mendekati budaya.

1. Gagasan utama Saussure adalah : bahasa terbentuk dari imej akustik, berupa kata-kata dan suara, yang berkait dengan konsep-konsep, berupa benda atau ide. Dan kaitan antara imej dengan konsep terbentuk dari konvensi belaka.

2. Pemaknaan suatu benda-kata bersifat : (1) sewenang-wenang, karena tidak ada orang yang tahu mengapa kata ‘pohon’ harus menunjuk pada benda ‘pohon’ dan bukan yang lain, (2) mengkontraskan, karena kita mendapatkan makna dengan memilahnya di antara obyek-obyek yang berbeda. Kata-kata ada dalam jejaring yang dibentuk oleh struktur berbagai perbedaan (structure of differences).

3. Saussure memilih metode analisis sinkronik, yaitu memetakan bahasa dalam masa kini (berlawanan dengan diakronik, melihat bahasa dalam perubahan sepanjang sejarah). Oleh karena itu, dalam metode sinkronik, Saussure memilah bahasa menjadi dua, yaitu parole (tuturan) dan langue (bahasa). Parole adalah penggunaan bahasa sehari-hari, yang berbeda-beda dan partikular sesuai konteksnya. Langue adalah struktur sistem tanda yang mendasari parole. Perhatian analis hendaknya tertuju lebih pada langue.

4. Bahasa itu otonom, dalam dirinya sendiri (sui generis) terdapat sistem-sistem yang menghasilkan pemaknaannya dan telah beroperasi seturut sistem pembedaan. Pokok ini dapat diaplikasikan ke dalam sistem-sistem tanda yang lain, yaitu budaya.

5. Semiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tanda-tanda dan hukum-hukum yang mengaturnya, termasuk otonomi budaya dimana di dalamnya terdapat kondisi kodrati dari tanda.


CLAUDE LEVI-STRAUSS

Claude Levi-Strauss adalah seorang strukturalis yang mengkhususkan dalam teori budaya. Pemikirannya menurut pengakuannya dalam Tristes Tropiques merupakan sebuah hasil perkembangan dari pengaruh Marx, Freud dan Geologi. Ketiga cabang itu menurutnya sepaham dengan aliran strukturalisme.

Marx mengembangkan pemikiran yang mereduksi kompleksitas kehidupan politik dan ekonomi masyarakat ke dalam hubungan sosial antara tiga struktur, yaitu kepemilikan alat produksi, modal, dan struktur & kepentingan kelas. Freud menerangkan fenomena pasien jiwa, dan menemukan mekanisme berupa hubungan antara proses kejiwaan, yaitu transference, denial, wish fulfilment, dan represi dengan dimensi jiwa, yaitu id, ego dan superego. Sementara itu, Geologi merupakan studi lanskap, yang menemukan pola-pola dan kausalitas dalam alam sehingga sangat berguna untuk memprediksi peristiwa-peristiwa tertentu.

Selain 3 hal itu, Levi mengakui pengaruh yang dalam dari Saussure, dan mengajukan sikap penelitian untuk lebih mendalami struktur mitologi sehingga menemukan logika tertentu dalam suatu sistem budaya. Di samping Saussure, Levi juga merupakan pendukung Durkheim, dan sama-sama meyakini bahwa masyarakat merupakan lapangan dari yang abstrak, mental dan ideal. Ada kesamaan antara ritual (Durkheim) dan mitos (Levi) sebagai ketidaksadaran kolektif.

1. Analisis Struktural terhadap Pertalian Keluarga (Kinship)

Analisis ini merupakan karya besar Levi-Strauss yang terdapat dalam The Elementary Structures of Kinship (1969). Di dalam buku ini, ia memberikan argumen struktualisnya, bahwa di balik segala budaya yang tampaknya carut marut (chaos) karena masing-masing unik terdapat di dalamnya suatu tatanan (deeper order). Dan, salah satu sistem budaya itu adalah sistem pertalian keluarga (kinship), yang menentukan secara sewenang-wenang mana yang baik dan mana yang buruk (descent clan, descent marriage, incest taboo). Analisisnya melihat bahwa kinship itu seperti bahasa yang melibatkan suatu pertukaran (dalam hal ini, wanita disamakan dengan kata-kata) dan merupakan suatu bentuk komunikasi dan dipandang sebagai suatu sarana untuk sosialitas.

2. Analisis Struktural terhadap Mitos dan Klasifikasi

Levi-Strauss memahami mitologi sebagai bahasa. Seperti bahasa yang terdiri dari elemen-elemen seperti fonem yang terangkai dan terbangun menjadi makna, begitu pula mitologi dibangun oleh mytheme-mytheme. Mytheme itu membentuk makna dan pola yang semakin kompleks. Dalam Oedipus, mytheme itu antara lain: Oedipus membunuh bapaknya dan Oedipus menikahi ibunya. Dua mytheme itu membawa makna sendiri-sendiri, yang pertama bermakna pelecehan terhadap hubungan darah dan yang kedua bermakna pengagungan hubungan darah.

Dua mytheme yang saling bertolak belakang dalam mitologi Oedipus itu disebutnya sebagai oposisi biner, yang merupakan bagian fundamental dari setiap mitos, dan harus diberi perhatian penting, karena menunjukkan suatu dilema yang terus digeluti oleh buday atau masyarakat tersebut.

Dalam karyanya The Savage Mind, Levi mencoba meredefinisi makna ‘primitif’. Menurut dia ‘primitif’ juga memiliki keteraturan, seperti pemikiran modern. Antara science dan magic, terdapat kesamaan yaitu sama-sama model cara kerja mental dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, menurut Levi, primitive thought digerakkan oleh science of the concrete, yaitu suatu sistem pengetahuan dengan membedakan dan mengklasifikasikan benda-benda berdasarkan penampakan luarnya dan nilai gunanya. Relasi berupa pembedaan itu sangat sentral dalam masyarakat primitif. Sementara itu, relasi itulah yang membedakannya dengan pemikiran sains, karena menurut Levi, pemikiran sains berusaha untuk mencari relasi dan sebab-akibat yang terdalam, yang melampaui penampakan luar dan nilai guna.
Levi menamai primitive thought sebagai bricolage. Orang-orang primitif itu seperti bricoleur, yang bekerja mengandalkan ketrampilan tangan dan lingkungan di sekitar. Orang-orang primitif menggunakan klasifikasi, mitologi dan ritual yang didapatkan dari lingkungan sekitarnya, baik yang alamiah maupun sosial, dengan mengenali penampakan luar dan saling membedakannya, dan lalu menjadikannya sebagai sistem-sistem tanda dan melibatkannya dalam kosmologi mereka. Misalnya, totem binatang. Totem binatang adalah suatu tanda sewenang-wenang yang digunakan oleh orang-orang itu untuk sarana berpikir (bonnes a penser), untuk mengkonstruksi tanda-tanda yang lain dan sistem yang lain.
Sistem ini disebut sebagai system of transformation, yaitu mengambil sesuatu dari alam (nature) dan menerjemahkannya ke dalam sistem tanda (culture), di mana semua sistem simbol dibangun dan dikombinasikan ke dalam pola yang baru, dengan proses analogi dan pembandingan.

Evaluasi terhadap Levi-Strauss

1. Absennya gagasan tentang power dalam karya-karya analisis budayanya, padahal dalam kasus mitologi, selayaknya dipertanyakan untuk kepentingan siapakah mitologi itu sehingga dapat terinstitusikan.
2. Levi melihat budaya sebagai abstraksi, yang dapat eksis tanpa intervensi manusia. Dia seolah menolak agen, dan menyatakan bahwa budaya beroperasi secara deterministik.
3. Levi kurang memperhatikan plot
4. Analisis Levi tidak sampai pada analisis politis, dan bahkan cenderung seksis
5. Levi sendiri sering salah dalam memahami konsep-konsep linguistik


ROLAND BARTHES

Dalam Elements or Semiology, Barthes berargumen tentang pertemuan antara linguistik dan pertanyaan tentang kebudayaan dalam menginformasikan pertanyaan-pertanyaan semiotik. Secara rinci pertemuannya adalah sebagai berikut:

1. Langue dan parole. Suatu perbedaan antara sistem abstrak tanda-tanda (langue) dan cara penggunaannya (parole). Dan ini, oleh Barthes, bisa digunakan di semua konteks semiotik dan tidak hanya pada linguistik. Contohnya, dalam sistem makanan, ada langue mengenai yang tabu (sesuatu yang dapat dan tidak dapat dimakan), ritus makan (table manner), dan ada parole-nya menegenai penemuan menu atau yang sudah turun menurun.
2. Signifier dan signified. Perbedaan antara sesuatu atau konsep yang direpresentasikan (signified) dan sesuatu yang memproses representasi (signifier).
3. Syntagm dan Sistem. Suatu perbedaan antara tanda yang merupakan kaitan dari suatu kejadian (syntagm) dan tanda yang kemudian dapat disubsitusikan (sistem).
4. Denotasi and konotasi. Suatu perbedaan antara tanda yang secara literer diartikan dan yang merupakan metalanguage.

Pemahaman ini membawa ke dalam Mythologies, di mana terdapat kumpulan artikel yang ditulis oleh Barthes tentang kehidupan dan kebudayaan sehari-hari orang prancis. Lewat ilustrasi ini Barthes menjelaskan semiotik-nya. Menurutnya, tanda dalam kebudayaan tidak pernah innocent, melainkan tanda tersebut tertangkap oleh jaringan yang komplek dari reproduksi ideologi. Di sini ia berusaha mengintepretasikan berbagai fenomena dan kemudian mengkaitkannya dengan suatu tema, yaitu karakter dari pemikiran Maxisme, seperti otentisitas, ideologi, dan fetisisme. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:

1. Ada model fetisisme terhadap mobil-mobil keren (new citroen) di mana orang-orang lebih memuja barang ini/komoditas ini.

2. Ada pernyataan ideologis yang mendukung kolonialisme yaitu pada suatu majalah ada seorang kulit hitam yang dengan bangga hormat pada bendera prancis.

3. Ada otentisitas kualitas ketika membedakan wrestling yang merupakan tontonan para perkerja dan tinju yang merupakan tontonan para borjuis.

Dalam essay yang berjudul “Myth Today,” Barthes berusaha mengkombinasikan studi abstrak dari semiotik (bagaimana tanda berkerja) dengan sesuatu yang lebih sosiologis dan secara konkrit dalam bentuk dan fungsi. Dari sini kita akan dihubungkan dengan skema mitis yang akan menjelaskan bagaimana yang mitis ini berhubungan dengan kepentingan dari masyarakat tertentu, misalnya kapitalis. Mitos merupakan milik dan alat borjuis dalam membenarkan dan menetralkan aturan-aturan sosial yang ada.

1. Suntikan (inoculation), merupakan suatu ide bahwa dengan mengetahui beberapa kejahatan kelas dan ketuidaksamaannya yang ada dalam masyarakat, seseorang dapat menghadang dengan suatu kritik terhadap aturan sosial.
2. Privasi sejarah meliputi menghadirkan objek-objek namun menanggalkannya dari semua jejak yang berasal dari sumber-sumber sosialnya. Contoh, suatu buku panduan untuk para turis membawa mereka kepada tempat-tempat wisata namun di sana mereka tidak diperkenalkan dengan kondisi dan proses sosial tempat wisata itu terbentuk.
3. Indentifikasi mengacu pada suatu proses yang melaluinya kita mengindentifikasi diri dengan yang lainnya dan melihatnya secara benar-benar berbeda. Contoh; jika kita mengidentifikasikan diri dengan tentara kulit hitam yang menghormati bendera kita maka akan ada kebanggan lebih, dalam hal status.
4. Tautologi meliputi mendefinisikan sesuatu tanpa menambah kejelasan. Barthes melihat ini sebagai cara untuk tidak lepas dari pertanyaan-pertanyan sulit dan sebagai penolakan pada bahasa.
5. Neither-normism meliputi penyeimbangan dua alternatif dan kemudian penolakan atas keduanya (diandaikan seturut status quo)
6. Kuantitas kualitas memperhatikan usaha-usaha untuk secara sistematis mengukur dan mengevaluasi realitas estetis atau untuk membuatnya dapat diprediksi dan disetujui dalam determinisme pasar.
7. Pernyataan fakta-fakta berurusan dengan penyediaan maxim dunia yang diasimilasikan dari common sense, sehingga mencegah pemikiran kritis.

Kunci dari Mythologies adalah pengunaan dari pembedaan antara denotasi dan konotasi. Denotasi mengacu pada pengartian literer suatu image. Konotasi mengacu pada pengartian lebih sesuatu yang berada di atas (mitologi). Contoh; cover suatu majalah yang menunjukan orang kulit hitam dengan pakaian tentara dan sedang menghormati benda yang berwarna merah, putih, dan biru dapat diartikan secara denotasi bahwa ini adalah gambar tentara kolonial di prancis yang sedang menghormati bendera. Namun, cover ini juga memiliki arti lebih atau konotasi yaitu, menurut Barthes, Prancis adalah kerajaan besar dan semua negara bawahanya tanpa memandang diskriminasi warna kulit, secara setia melayani negara dibawah benderanya. Secara denotasi ditunjukan bahwa bangsa kulit hitam dengan senang dan bangga melayani penjajah atau oppresor. Dari sini Barthes ingin menunjukan bahwa konotasi mitologis berkerja melalui pertimbangan common sense. Dia berpendapat bahwa kita secara otomatis dan instant membaca tanda-tanda masih secara partikular dan belum menerimanya secara menyelurus dalam proses semiotik. Jika demikian hasil yang didapat adalah “mitos itu dialami sebagai suatu perbincangan yang innocent, bukan karena intensinya tersembunyi melainkan karena intensi-intensi ini dianggap biasa.

Karya dari Roland Barthes dalam Mythologies adalah penting untuk dua alasan utama, yaitu pertama: karya ini membuka alur baru dengan mengkombinasikan semiotik dengan teori kritis. Dalam konteks ini dibutuhkan banyak masukan dari teori kritis neo-marxisme. Kedua: karya ini melegitimasikan studi dari kebudayaan populer dalam lingkaran akademik. Di mana studi lainnya pada masa itu masih mengacu pada kebudayaan secara esoteris.

Dalam buku S/Z, Barthes mencoba untuk masuk dalam dunia fiksi, yaitu novel. Kadang studi ini dinyatakan sebagai jembatan yang jelas antara strukturalismenya dan poststrukturalismenya. Isi buku ini lebih pada analisa yang detail tentang sesuatu dibalik sebuah cerita. Argumennya adalah kode-kode ini berada pada konvensi literatur yang spesifik dan kebudayaan kita yang mulai berkembang. Kemampuan kita untuk memaknai suatu teks tergantung dari kualitas kita dalam menggerakan kode-kode tersebut sehingga makna dalam teks tersebut menjadi mungkin dalam zaman kita sekarang ini. Barthes juga menekankan bahwa tak ada makna yang definitif dalam suatu cerita. Dia manyatakan bahwa sekarang ini adalah masa kebangkitan interpreter dalam membaca teks atau lebih jelasnya “kematian sang pengarang’. Barthes berargumen demikian karena setiap kali kita membaca sebuah buku pasti tidak akan memberikan makna yang sama ketika yang kedua kalinya. Dalam hal ini seorang pembaca itu sama baiknya dengan seorang penulis. Disinilah muncul kekuatan atau power seorang pembaca seperti yang diungkapkan oleh Barthes bahwa “untuk menginterpretasikan sebuah teks bukanlah untuk memberikannya sebuah makna literer namun sebaliknya adalah untuk mengapresiasikan apa yang ada menurut sang pembaca, dan ini tak terdeterminasikan.”

Dalam buku The Pleasure of the text, banyak berargumen bahwa tulisan ini masuk dalam bagian “poststruktural” di mana dalam buku ini Barthes mengurangi usaha untuk mengonstruksikan teori yang koheren atau pendekatan sistematis. Pendekatannya adalah aporistik Dalam buku ini ia juga menekankan kegembiraan (pleasure) indrawi dan intelektual yang mungkin datang dari keterikatan dengan teks. Dari sini ia berpendapat bahwa pembaca dapat menafsikan teks berdasarkan kesenangan yang dihasilkan setelah membaca, dan ini hasil tersebut tergantung dari sisi psikologis dan seksualnya. Berkembang dari penafsiran seperti ini munculah argumen tentang jouissance, pandangan yang meliputi sensasi dari pelepasan seksual dan kegembiraan yang meluap-luap. Ia kembali memberi tekanan bahwa kesenangan akan teks itu seperti ada rasa tidak dapat dipikul, tidak mungkin, fiktif, dan seperti merasakan momen orgasme. Dari buku Barthes ini ada perkembangan untuk tidak selalu berpikir rasional dengan berlogika pada struturalisme ortodox melainkan ada perkembangan yang melebar dan menyeluruh di bidang intelektual, fisik, dan emosional.
Buku The Pleasure of the text ini dikenal sebagai buku yang mempengaruhi teori-teori cultural studies. Kekritisan dalam buku ini terletak dalam terbentuknya penerimaan pembaca untuk mengangkat teks seturut dengan kesenangan (pleasure). Juga, pandangan Barthes ini sebagai strategi untuk mengupas arus bawah teks. Teks tidak lagi dipahami sebagai yang intelektual semata, analisa secara literer. Pemahaman akan kesenangan akan pembacaan dianggap sebagai perlawanan terhadap ideologi yang dominan.


MARSHALL SAHLINS

Karya Marshall Sahlins merupakan karya akhir dari strukturalisme ortodox. Di awal karyanya, ia sepertinya seorang antropologis materialis dan kemudian ia berpaling pada strukturalisme kebudayaan. Karya terbaiknya adalah Culture and Practical Reason (1976). Dalam karya ini ia mengkritik suatu pandangan rasional yang berpendapat bahwa tindakan manusia itu dibentuk oleh kepentingan-kepentingan praktis, terutama dalam bidang ekonomi.
Menurutnya kebudayaan adalah yang utama membentuk tindakan manusia. Dalam bidang ekonomi penentuan keperluan dan kebutuhan manusia merupakan hasil dari kebudayaan dan bukan merupakan produk dari pasar. Urusan kebudayaan juga merupakan urusan produk-produk yang dihasilkan karena dengan itu akan ada kode untuk menandakan dan menilai suatu masyarakat, kejadian, fungsi, dan situasi suatu kebudayaan. Maka, tindakan manusia dalam bidang material dan aksi sosial merupakan suatu produk dari kebudayaan.
Sahlins memberikan contoh industri daging sapi di Amerika. Dalam industri ini ia mempertanyakan mengapa industri daging sapi lebih dominan daripada daging babi, kuda, dan anjing? Daging-daging ini sebenarnya baik untuk dikonsumsi dan juga bernutrisi. Apakah kebudayaan yang menetapkan permintaan seperti ini?
Jawabannya ada dalam kode kebudayaan. Kebudayaan telah membentuk kode dalam masyarakat Amerika bahwa dalam memakan daging haruslah membedakan mana binatang yang lebih dekat dengan manusia dan mana yang kurang. Hal ini juga menentukan mana daging yang tidak boleh dimakan (dilarang) dan mana yang tidak. Anjing dan kuda masuk dalam binatang yang dilarang untuk dikonsumsikan karena binantang ini bisa dekat dengan manusia dan dapat memiliki ikatan emosional. Sedangkan sapi dan babi merupakan hewan yang dekat dengan alam dan memakan makanan yang kadang menjadi sisa manusia.***

1 Comments:

Blogger Unknown said...

thanks a lot......

April 13, 2010 at 9:16 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home