Saturday, April 21, 2007

HENRI BERGSON: Antara Intelek dan Intuisi

The object of philosophy would be reached if this intuition could be sustained,… of external points of reference in order not to go astray. (Henri Bergson)

Bergson adalah seorang filsuf ternama di abad 20 yang menuliskan tentang metafisika. Baginya pengetahuan yang mengabsolutkan adalah pengetahuan yang karena intuisi dan pemikiran rasional merupakan suatu pemikiran yang lebih banyak salah atau palsu. Maka dengan pemikiran semacam ini, Bergson mendobrak banyak filsuf sebelumnya sehingga ia menjadi terkenal sampai ia mendapatkan hadiah nobel tahun 1927 untuk karya Literatur. Ia memperdebatkan bahwa intuisi itu lebih dalam dari intelek.
Pemikiran Bergson memang lebih banyak dipengaruhi oleh teori evolusi teutama dari Darwin. Berarti ia lebih banyak berbicara mengenai evolusi biologis dan itu menjadi poin khusus dalam pemikirannya. Bergson dengan pengalaman bersama intuisinya yang juga dipengaruhi oleh ilmu-ilmu alam memberikan penjelasan yang mendasar mengenai bagaimana manusia itu sendiri melihat realitas bagi dirinya. Lalu bagaimanakah posisi Bergson dalam menghadapi Darwin, apakah ia menentang, setuju, atau memilih jalan lain dengan mengembangkan teorinya sendiri.
Banyak orang memandang pemikiran Bergson ini sebagai metafisika yang berisikan misteri-misteri. Walaupun begitu pandangan ini juga memberikan banyak inspirasi bagi beberapa muridnya. Mereka terus memperjelas relasi antara duree dengan elan vital kemudian juga materi dan kehidupan, dan lain sebagainya. Beberapa filsuf kemudian yang dipengaruhi olehnya adalah William James, Scheler, Gabriel Marcel, Whitehead, Maritain, T. de Chardin, Ch. Peguy, dan M. Proust.
Koleksi karya-karyanya dan juga kuliahnya lebih menekankan persoalan hakikat intuisi. Ia mencoba menjelaskan bagaimana intuisi itu dapat dimasukan dalam filsafat. Sebelumnya memang banyak filsuf menolak adanya pemikiram metafisis dalam kehidupan manusia. Intuisi, menurutnya, merupakan metode “berpikir dalam durasi” dan selalu mencerminkan adanya realitas yang terus mengalir. Untuk menjelaskan lebih dalam akan filsafatnya, Bergson membedakan dua dasar pemikirannya yaitu intuisi dan pemikiran konseptual. Intuisi dan intelek dapat dikombinasikan untuk mendapatkan pengetahuan dinamis akan realitas.

DASAR PEMIKIRAN BERGSON
Filsafat Bergson sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin. Ia menyatakan bahwa cara manusia bertindak lebih dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Darwin menekankan bahwa manusia yang sekarang ini merupakan hasil dari proses evolusi di mana manusia memiliki naluri untuk bertahan hidup . Karakter semacam ini merupakan suatu hal yang alami dalam menjalankan proses hidup. Hal ini bisa terjadi karena ada keterbukaan atau kebahagiaan dalam bertahan hidup. Maka dari itu dalam teori Darwin intelek manusia dan proses berpikirnya merupakan konstruksi dari tujuan-tujuan praktis. Tujuan ini digambarkan untuk membantu manusia mengadaptasikan dirinya dalam dunianya dan juga untuk lebih mudah dalam bertingkah laku.
Faktor diri inilah yang kemudian menjadi pandangan dasar Bergson. Dengan melihat pada diri, yang sangat berharga, ia juga megacu pada pikiran, perasaan, persepsi, dan kemauan yang secara alami akan selalu berubah. Perubahan itu ternyata membawa kesenangan baru. Dalam diri itu ternyata tak ada pengulangan masa lalu sehingga diri akan selalu menjadi baru. Manusia akan selalu merasa bebas. Ia akan dengan senang hati menciptakan masa depannya, meskipun masih mendasarkan pada masa lalu. Perubahan ini terjadi bukan karena dipikirkan melainkan sebagai sesuatu yang dialami. Pengalaman menjadi penting dalam suatu proses dan konsep-konsep intelek mulai ditangguhkan.
Bergson memandang bahwa intelek itu sebagai suatu instrumen atau alat yang digunakan untuk membantu atau meningkatkan kehidupan . Dengan begitu tersirat kritiknya yang merupakan pengaruh ilmu alam. Kritik pertamanya ia tuju pada proses dinamis kehidupan yang terlalu mekanis ataupun materialis dan proses ini ditempatkan dalam konsep-konsep fisik. Dengan begitu masa depan manusia sangat dipengaruhi oleh masa lalu sehingga durasi, kebebasan, dan kreativitas tidak diakui di dalam kehidupan ini. Untuk yang kedua ia menolak adanya pandangan akhir yang menjelaskan bahwa dunia itu, seakan-akan telah ditetapkan, sedang menuju pada tujuan-tujuan tertentu di masa depan yang memang tak terhindarkan. Kemudian ia juga tidak mengakui adanya vitalisme yang kurang menjelaskan fakta-fakta evolusi.
Kritik-kritik ini bagi Bergson merupakan suatu tekanan besar kepada intelek yang selalu menggunakan formula-formula praktis. Lebih jelasnya lagi, Bergson menyebut para ilmuwan terlalu menggunakan pemikiran praktisnya dalam memutuskan atau menganalisa sesuatu. Dengan begitu pengetahuan telah memalsukan kealamiahan gerakan dengan merepresentasikan hal matematis ke dalamnya. Bagi Bergson hal ini tidaklah membantu secara penuh. Ia mengatakan bahwa kita membutuhkan suatu suplemen yaitu intuisi.

PANDANGAN AKAN WAKTU
Mengenai waktu, Bergson membedakan dua jenis waktu, yaitu waktu murni dan waktu matematis. Waktu murni merupakan durasi yang sebenarnya sedangkan waktu matematis adalah durasi yang terukur. Sifat waktu murni itu continu dan tak dapat dibagi dan waktu matematis sebaliknya yang dapat dibagi menjadi beberapa unit dan interval. Hubungan antara kedua waktu ini tidak seimbang. Analisa matematis terhadap waktu murni akan membuat kekacauan dalam waktu. Waktu murni tidak bisa diintelektualisasi karena dengan mengalami durasinya itu berarti memalsukannya. Waktu murni hanya bisa dialami secara intuitif bukan intelektual.
Hal ini oleh Bergson disebut sebagai duree atau waktu murni. Untuk lebih jelasnya Bergson kemudian mendeskripsikan kata duree itu sendiri. Duree adalah perubahan terus menerus yang heterogen atau “becoming”. Duree ini tidak dapat di ubah dan selalu menuju pada masa depan. Duree secara terus menerus menciptakan kebaruan dan secara instrinsik sulit untuk diprediksi dan merupakan sumber yang tidak pernah habis dari kebebasan. Bergson juga mengatakan kemudian bahwa intuisilah yang bisa menerangkan realitas hidup dan bukan konsep-konsep intelek .
Eksistensi waktu itu dapat menerangkan mengapa benda-benda itu tidak terjelaskan. Waktu sebagai durasi menjelaskan mengapa benda-benda yang tak terjelaskan kemudian bisa menjadi terjelaskan, dan begitu juga sebaliknya. Jika waktu tidak exsis, secara teoritis, maka segala sesuatu dapat dijelaskan. Oleh karena itu dengan ketidakjelasan akan segala sesuatu, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa hidup dapat berubah dan perubahan yang terjadi menunjukan adanya kebebasan dalam bertindak. Kebebasan ini merupakan pengalaman dari intuisi.

INTUISI dan INTELEK
Dalam realitas sehari-hari, kadang sesuatu yang nisbi atau pasti atau dengan ilmu pengetahuan sepertinya masih kurang pasti dan sering salah maka untuk dapat melihat lebih jelas dan menyeluruh diperlukan suatu suplemen yaitu intuisi. Dalam pengertian ini ada dua argumen yang berbeda yang berfungsi sama-sama untuk mengetahui sesuatu. Dua hal tersebut adalah karakteristik dari intelek yang menggunakan berbagai simbol untuk mengekspresikan temuannya dan menghasilkan suatu pengetahuan yang relatif. Kemudian yang kedua adalah proses dari intuisi di mana kita masuk ke dalam sesuatu dan mengindentifikasikan diri kita dengannya lewat rasa simpati intelek. Hal ini seperti kita mengindentifikasikan diri kita sebagai aktor dalam novel yang kita baca . Tidak ada simbol dan pengetahuan yang didapatkan itu mutlak dan sempurna. Inilah metode yang di sebut metafisika.
Intelek dan intuisi adalah dua jenis pengetahuan yang berbeda. Prinsip-prinsip sains dimasukan dalam kategori intelek dan prinsip-prinsip metafisika merupakan intuisi. Sains dan filsafat dapat disatukan dan akan menghasilkan pengetahuan yang intelektual dan intuitif. Pengetahuan semacam ini dapat menyatukan dua persepsi realitas yang berbeda.
Bergson mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan emosi secara harafiah. Kita harus melihatnya sebagai sesuatu yg bergantung pada kemampuan khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam. Intuisi itu sepertinya suatu tindakan atau rentetan dari tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman. Intuisi ini hanya bisa didapatkan dengan melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan tindakan, yaitu dengan membenamkan diri dengan kesadaran spontan.
Satu hal yang dicapai intuisi dan disebut sebagai objeknya adalah kepribadian diri kita. Dalam hal ini Bergson ingin mengatakan bahwa kenyataan absolut itu yang dikuak oleh intuisi metafisis adalah waktu yang tidak pernah habis. Mengapa? Karena kita dapat menemukan kepribadian kita dengan berjalannya waktu dan proses untuk sampai pada perubahan sepertinya sulit untuk berhenti. Inilah yang dimaksudkan bahwa dengan intuisi kita akan mendapatkan bentuk pengetahuan yang menyatakan realitas itu continu dan tak dapat terbagi. Realitas akan selalu berubah karena dalam hidup manusia akan selalu ada kebebasan akan kreativitas.
Pandangan semacam ini sebenarnya ingin mengkritik pandangan para filsuf terdahulu yang segalanya direfleksikan secara rasional. Dengan melihat hal ini, Bergson berusaha melengkapinya dengan metafisika yang selalu menghadirkan fakta konkrit dari gerakan. Maka dengan metafisika menurut Bergson kenyataan itu berjalan atau mobil sedangkan yang selalu diberikan intelek hanyalah penampilan. Realitas itu disadari secara intuitif dan tidak terpotong-potong. Dengan begitu konsep-konsep intelek tidaklah bisa menjawab realitas secara menyeluruh.

ELAN VITAL
Untuk menjawab proses evolusi yang selalu berlangsung yang dipakai untuk memperbaiki keberadaan hidup, Bergson mengatakan bahwa di situ ada proses elan vital atau daya hidup. Dengan elan vital evolusi dibawa menuju ke tingkat yang lebih tinggi yaitu menuju ke keteraturan. Hal ini merupakan sebab mendasar terciptanya species-species yang bervariasi dan juga merupakan prinsip pokok exsistensi. Adanya variasi species lebih jelasnya karena ada ledakan-ledakan daya hidup karena proses evolusi itu sendiri tidak pernah linier. Maka pada saat itu ada tiga jenis utama garis evolusi yang memungkinkan, yaitu tumbuhan, serangga, dan manusia. Manusia merupakan produk evolusi yang terbaik dan terkuat karena ia memiliki vitalisme.
Proses evolusi merupakan proses dinamis. Maka bisa dikatakan bahwa konsep intelek tidaklah cukup untuk mengatasi proses ini. Intelek yang berada dalam waktu terukur, bersifat statis, atau berada dalam ruang lingkup matematis tidaklah cukup menjawab proses ini, malahan yang akan terjadi adalah konsep yang palsu atau salah. Dengan intuisi elan vital akan terjadi karena dengan begitu dinamisme akan berjalan dan juga proses terus menerus seperti air mengakir menuju ke daerah yang rendah akan terjadi.
Elan Vital diasumsikan Bergson sebagai energi primal yang mulai menjadi hilang atau pudar. Materi, sebaliknya, menjadi didevitalisasi. Maksudnya adalah manusia mulai melepaskan diri dari dunia materi atau dari determinisme materi. Salah satu dari fungsi intelek adalah untuk menghadirkan materi yang terus berubah dalam suatu samaran yang statis. Maka segala sesuatu di sekitar manusia sekarang ini merupakan hasil atau residu dari proses elan vital sebelumnya. Dengan elan vital manusia akan berada pada proses menjadi. Kedinamisan dari waktu murni menjadikan evolusi terus berjalan akhirnya sampai pada tahap seperti sekarang ini. Di sinilah terjadi evolusi kreatif manusia yang menekankan kebebasan dan kedinamisan hidup yang juga merupakan akibat dari waktu murni.

ANTI-INTELEKTUALISME BERGSON
Akhirnya pandangan Bergson ini lebih banyak dipandang sebagai suatu pandangan anti-intelektualisme walaupun Bergson sendiri menyangkalnya dan mengatakan bahwa metafisikanya merupakan suatu pelengkap dan bukan lawan dari rasionalisme. Intelek memang mampu memberikan pengetahuan kepada kita tetapi lebih baik lagi bila pengetahuan itu juga didapatkan dengan intuisi. Bergson mengajak kita untuk lepas dari konsep analisis yang kemungkinan lebih banyak gagalnya dan menyarankan untuk menggunakan intuisi karena dengan intuisilah kita dengan sendirinya akan sukses.
Dengan intuisi ruang sekitar pemikiran Bergson diasumsikan tidak-saintifik. Konsep intuisi, durasi, dan kebebasan diartikan sebagai konsep yang melawan intelektualisme, determinisme, dan mekanisme, walaupun ia sendiri menyangkal pemikiran semacam ini. Ia tetap menganggap adanya pengetahuan konseptual dalam pemikirannya. Ia tidak menolak adanya aspek semacam itu, hanya ia menambahkan bahwa berkembang aspek-aspek spiritual di dalamnya.
Kontribusi Bergson dalam dunia filsafat terletak pada pemahaman kebebasan manusia untuk berkreativitas secara realistik. Pandangannya memang tidak terlalu berpusat pada pikiran atau rasio melainkan ia lebih menekankan pengalaman. Dengan pengalaman manusia akan mengkonstruksi eksperimen-eksperimen saintifik yang realistis.
Intuisi, duree, the self, atau elan vital tidaklah dapat secara akurat dijelaskan begitu saja karena mereka memang tak teruraikan. Mereka hanya bisa didapatkan dengan pengalaman yang membawa kita ke pengetahuan dan menemukan esensinya bagi diri kita sendiri.

TANGGAPAN
Setelah menganalisa pemikiran dari Bergson memang disadari bahwa dia lebih menekankan proses intuitif sebagai proses menemukan realitas. Banyak kritikus menganggapnya sebagai filsuf anti intelektualisme dan ada juga yang menganggap filsafatnya ini merupakan suatu proyeksi dari personal psikologinya yang dibawa ke luar atau ke dunia. Hal seperti ini terjadi karena proses menemukan realitas dianggap subjektif dan objektivitas dicoba direduksi. Pada zaman itu, pemikiran Bergson memang sangat menarik.
Metafisika semacam ini pada zaman dia hidup merupakan suatu ajaran yang baru karena bidang filsafat sebelumnya sudah mereduksi pemikiran metafisika dan beralih pada intelektualisme, idealisme, determinisme, dan materialisme. Dalam filsafat Bergson, manusia mulai dipikirkan lebih dalam dan dimetafisiskan. Intuisi menjadi bagian yang juga penting dan daya hidup atau elan vital dijadikan sebagai pegangan untuk meraih fakta-fakta realistis. Bergson mengajarkan bahwa akan selalu ada kemungkinan untuk mengetahui segala sesuatu secara faktual. Itulah intuisi yang membawa manusia untuk mengetahui sesuatu dalam dirinya.
Untuk membuktikannya, Bergson mengawalinya dengan memikirkan konsep waktu, waktu murni dan waktu terukur. Dengan waktu murni intuisi berperanan dalam membuat kehidupan ini menjadi lebih dinamis dan proses evolusi akan mungkin terjadi. Pandangan akan waktu terukur yang memiliki sifat statis yang juga merupakan kritiknya tidak terlalu mampu menjelaskan proses evolusi. Dengan waktu murni vitalisme terjadi dan mahluk hidup menemukan realitasnya.
Untuk menekuni filsafat Bergson ini kita harus melatih intuisi dengan berbagai pengalaman hidup. Pengalaman haruslah dibangun berdasarkan informasi-informasi yang ditangkap melalui experimen-experimen saintific. Dengan pengalaman itu dapat diketahui bahwa Bergson sama sekali tidak menghilangkan intelektualisme melainkan memperdalamnya. Sekali lagi metafisikannya merupakan pelengkap intelektualisme.






















DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Bergson, Henri
1955. An Introduction to Metaphysics, New York: The Library of Liberal Arts

Bergson, Henri
1911. Creative Evolution, Boston: University Press of America

Honderich, Ted
1955. The Oxford Companion to Philosophy, New York: Oxford University Press

Mudhofir, Ali
2001. Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home