Saturday, April 21, 2007

Carl Smitt: Tindakan Kekerasan

KEPUTUSAN SUBJEK KEDAULATAN
DAN TINDAKAN KEKERASAN
dalam PARADIGMA POLITIK CARL SCHMITT

Kehidupan pada zaman liberal merupakan bentuk kehidupan yang monoton, menurut Carl Schmitt, karena segalanya diseragamkan dan dihomogenkan oleh hukum. Hukum telah menjadikan kehidupan juga bersifat birokratif dan administratif. Carl Schmitt dengan pandangan politiknya ingin berpaling dari kehidupan ini. Ini ingin manusia hidup dalam perjuangan dan keberanian asalinya di mana dengan begitu manusia mampu menemukan eksistensi dirinya. Maka dari itu, Schmitt mengkritik liberalisme sebagai belenggu keberanian dan kekuatan manusia (=massa). Dalam hidup bernegara hubungan masyarakat dengan negara harus ditandai dengan Yang Politis dan bukan hukum. Inilah intensi Schmitt dalam filsafat politiknya yaitu melestarikan Yang Politis. Yang Politis harus mengatasi segalanya, termasuk hukum atau dengan kata lain konsep negara itu mengandaikan konsep tentang Yang Politis .
Dalam praktek-praktek politis, Yang Politis juga memposiskan diri. Ia berada dalam setiap gerak negara. Yang Politis ada dalam keputusan subjek kedaulatan dan juga dalam tindakan kekerasan. Konsep masyarakat Schmitt adalah masyarakat yang membutuhkan pegangan ketika khaos. Manusia digambarkan jahat dan berbahaya, namun dapat takut oleh otoritas (subjek) kedaulatan. Tindakan kekerasan itu bagai antinomi kawan dan lawan. Dengan konsep seperti ini, Schmitt beranggapan bahwa masyarakat yang berada dalam antinomi ini membutuhkan arah angin atau keputusan sang subjek. Keputusan yang akan membawa mereka pada kehidupan baru yang lepas dari yang sebelumnya. Namun masa ini tidaklah terjadi sekali sehingga sebjek kedaulatan membutuhkan tindakan kekerasan untuk tetap bisa mempertahankan kedaulatannya atau dengan kata lain distingsi kawan dan lawan itu akan terjadi terus menerus.
Dalam paper ini saya akan memfokuskan pada keputusan subjek kedaulatan dan kekerasan menurut Carl Schmitt. Buku yang saya acu adalah “The concept of the Political” dari Carl Schmitt yang sepertinya berbicara tentang tindakan itu sendiri dan juga mengenai keputusan sang subjek kedaulatan atas keadaan darurat . Pada awal saya akan memaparkan mengenai latar belakang dari pemikiran Carl Schmitt yaitu bagaimana zaman modern di masanya telah membuatnya berpikir mengenai negara yang mengucilkan Yang Politis. Kemudian akan dilanjutkan dengan pemikiran Carl Schmitt akan keputusan subjek kedaulatan dan tindakan kekerasan sebagai wujud konkrit kedaulatan. Di akhir saya akan menyimpulkan dan memberi tanggapan kritis yaitu mengenai apakah kedaulatan satu orang mampu membentuk stabilitas suatu negara? Apakah kekerasan benar-benar mampu membangkitkan yang politis? Apakah dengan pemikiran ini kita masuk ke dalam kediktatoran baru?

LATAR BELAKANG
Pemikiran politik Carl Schmitt atas keputusan subjek kedaulatan dan kekerasan massa merupakan suatu kritik terhadap liberalisme, konsep negara hukum yang dikembangkan pada zaman modern. Menurutnya, liberalisme telah gagal atau berakhir . Liberalisme telah membawa kita pada zaman neutralisasi dan depolitisasi. Ini karena hukum telah mensistematisasi segalanya, termasuk tindakan dan keputusan. Semuanya menjadi berproses secara homogen dan seragam menurut mekanisme birokratis negara. Hidup manusia pada masa itu menjadi datar dan tanpa resiko. Konsep negara hukum yang merupakan ciri khasnya dan berserta sistem-sistemnya lebih diprioritaskan daripada yang politis. Keputusan-keputusan yang politis juga berada di bawah konsep negara. Liberalisme telah membawa negara pada kejanggalan setiap tindakan dan keputusan yang politis.
Zaman modern terlalu bergerak dengan hukum, tergantung pada rasionalitas operasional dan bukan pada kekuasaan dan kedaulatan. Negara dengan hukum telah bergerak secara mekanistis dan itu mengurangi kekhasan dari suatu negara. Tak ada lagi kemungkinan yang dapat menspesifikasikan suatu negara karena segalanya telah menjadi homogen. Pada zaman seperti ini, Schmitt beranggapan, Yang Politis tidak mendapat tempatnya dalam masyarakat. Yang politis telah dikuburkan oleh hukum-hukum negara. Akhirnya, arti negara menjadi status politis dari suatu bangsa yang teratur dalam suatu teritori. Dalam hal ini politik itu identik dengan negara .
Schmitt menyatakan bahwa konsep negara itu mengandaikan konsep tentang Yang Politis. Politik seharusnya tidaklah identik dengan negara melainkan mengatasi negara. Bagi Schmitt, identifikasi antara politik dan negara hanyalah salah satu momen historis dan tidak bersifat abadi seperti yang digariskan oleh liberalisme. Yang politis mendahului dan mengatasi yang lain, yaitu negara dan masyarakat. Maka apa yang memang diperlukan, menurut Schmitt, adalah tergantikannya pemikiran liberal yang sistematik dan konsisten itu dengan sistem lain yaitu sebuah sistem yang tidak menegasi yang politis melainkan yang mampu membawanya kepada pengakuan (recognition) . Intensi Scmitt dalam proyek ini adalah untuk menyelamatkan yang politis dan mengembalikannya pada martabatnya yang sesungguhnya.

KEPUTUSAN SUBJEK KEDAULATAN
Untuk memahami lebih jelas mengenai keputusan subjek kedaulatan, penulis akan menganalogikannya dengan keputusan seorang hakim. Dalam memutuskan suatu perkara ada dua model hakim dalam pengadilan kita, yang satu adalah hakim yang hanya ikut tata cara hukum yang berlaku dalam memutuskan dan hakim yang lain adalah hakim yang adil dan berani memutuskan sesuatu atau membuat putus yang kadang lepas dari tata cara hukum yang berlaku. Prinsip keputusan Schmitt ada pada model yang ke dua di mana sang hakim dengan kemampuannya berani mengambil sikap dan tidak seturut dengan hukum yang ada. Peristiwa pengambilan keputusan ini disebut sebagai momen pengambilan keputusan atau momen yang tak terduga.
Keputusan sang subjek kedaulatan selalu merupakan keputusan yang tidak terikat pada apapun. Keputusan tersebut berasal dari ketiadaan (ex nihilo), karena tanpa dasar, tanpa sumber asli, dan tanpa pola yang dapat didugai. Keputusan yang dibuat oleh subjek kedaulatan versi Schmitt seperti halnya lompatan (sprung) dalam permenungan Kierkegaard. Di sini Schmitt ingin menunjukan bahwa adanya keputusan subjek kedaulatan pada akhirnya tak lain daripada sesuatu yang arbiter atau ada dikontinuitas dengan tindakan memutuskan dengan masa lalu . Keputusan ini lepas dari norma-norma hukum kodrat maupun norma-norma hukum positif (=desisionisme ).
Dalam bernegara keputusan seperti ini sangat penting, terutama dalam membangkitkan yang politis. Schmitt menyatakan bahwa tatanan yang politis itu lahir dari keputusan. Hukum yang menghomogenkan atau menyeragamkan tidak mengangkat yang politis melainkan menjadikannya indentik dengan hukum tersebut. Schmitt menolak ini dan menyatakan bahwa negara haruslah tertata dengan hukum di mana negara tersebut selalu berada dalam konflik. Maka dengan adanya konflik, di mana manusia oleh Schmitt dikatakan berbahaya, harus ada otoritas tertentu atau yang politis agar tatanan politik atau hukum dapat tercipta.
Keputusan dan subjek yang (akan) berdaulat akan memiliki peranan penting ketika berada pada keadaan darurat. Dalam keadaan darurat ini momen keputusan sangat diharapkan untuk dapat menata negara. Di sini jugalah yang politis mendapatkan peranannya. Manusia dalam keadaan darurat mulai terlihat jati dirinya yang asli. Khaos merupakan keadaan yang tepat untuk menggambarkan pemikiran Schmitt ini. Maka, dalam keadaan yang serba tak menentu ini masyarakat membutuhkan suatu pegangan untuk mengarahkan diri. Oleh Schmitt, masa seperti inilah yang harusnya dimanfaatkan subjek kedaulatan dengan membuat keputusan. Akhirnya yang terjadi, masyarakat yang berada dalam khaos menjadi tertata dan subjek yang berdaulat menjadi sumber konstitusi . Yang berdaulat adalah, barangsiapa yang mengambil keputusan atas keadaan darurat .

TINDAKAN KEKERASAN
Kekerasan dalam pengertian Schmitt hampir sama dengan pemahaman dari Hobbes. Hobbes dengan state of nature-nya memandang adanya konflik antar individu dikarenakan manusia yang dilahirkan jahat dan berbahaya. Manusia adalah mahluk yang berbahaya dan oleh karena itu haruslah dijinakan dengan sebuah tatanan hukum. Oleh Schmitt pandangan ini diangkat dan disempurnakan bahwa kejahatan manusia harus dilunakkan lewat otoritas dan ancaman kekerasan. Namun, pandangan Schmitt dalam kekerasan ini tidaklah merupakan konflik antar pribadi dan kelompok melainkan konflik antar massa (the social).
Kekerasan massa dalam khaos yang merupakan wujud dari keadaan darurat dapat diselesaikan oleh subjek kedaulatan dengan membuat suatu keputusan atau suatu bentuk kekerasan yang lain. Keputusan di sini mengatasi khaos, mengatasi situasi nol dan menjadi pangkal segalanya yang datang kemudian atau momen di mana kekerasan menemukan eksistensinya. Dengan adanya kekerasan maka yang politis menjadi ada dan tidak lagi terkubur oleh hukum yang birokratif dan administratif.
Kemudian untuk memahami kekerasan yang kemudian akan mendaulatkan Yang Politis ini, Schmitt membuat suatu distingsi yang khas dan bersifat final, yaitu distingsi antara kawan dan lawan. Dalam setiap pandangan pasti ada yang final, misalnya dalam moralitas yang final itu adalah distingsi antara “good” dan “evil” dan dalam estetika ada “beautiful” and “ugly”. Kemudian yang final dari Yang politis itu terdapat dalam distingsi antara “friend (kawan)” dan “enemy (lawan)” itu sendiri. Konsep kawan dan lawan ini bukanlah suatu metafor ataupun simbol melainkan konsep yang harus dimegerti dalam pandangan yang konkrit dan eksistensial . Kawan dan lawan dalam realitasnya selalu bersifat antinomi. Timbulnya antinomi kawan dan lawan mengatasi konsep-konsep yang terdapat dalam masyarakat, seperti moralitas, ekonomi, estetika, dll. Dalam memahami moralitas, ekonomi, dan konsep lainnya kita harus masuk terlebih dahulu ke pandangan Yang Politis, antinomi antara kawan dan lawan. Antinomi ini sangatlah mewarnai Yang Politis dalam mengembangkan masyarakat dan negara. Antinomi ini adalah derajat intensitas yang paling ekstrim yang mampu menghisap segala antinomi lain ke dalam wilayahnya . Maka, distingsi ini secara total menjadi dasar tindakan-tindakan dan motif-motif politis.
Konsep lawan, menurut Schmitt, bukanlah konsep seseorang menjadi “competitior” atau musuh pribadi melainkan sebagai partner dalam konflik . Seorang lawan hanya ada jika terjadi suatu konfrontasi secara kolektif. Konflik akhirnya menjadi khaos dan ini disebut sebagai masa krisis namun kemudian, oleh Schmitt, diharapkan ada “order” setelah dibuat suatu keputusan. Maka antinomi antara kawan dan lawan merupakan prinsip diferensiasi yang mengawali lahirnya sebuah sistem.
Konsep lawan tidak bisa bersikap netral. Jika demikian maka Yang Politis akan berakhir dan kemudian jatuh pada neutralisasi dan depolitisasi yang akan membuat masyarakat menjadi datar. Maka untuk menjadikan Yang Politis tetap hidup, Schmitt menyatakan, bahwa kekerasan (perang) haruslah menjadi salah satu kemungkinan . Dunia yang tanpa ada kemungkinan untuk berperang atau dunia yang memang sudah damai dan tenang, oleh Schmitt, dikatakan sebagai dunia yang tanpa distingsi antara kawan dan lawan dan ini juga berarti dunia tanpa Yang Politis. Maka untuk tetap menghidupi dunia (negara) Yang politis harus tetap dikembangkan di mana sang subjek kedaulatan selalu siap sedia membuat keputusan dalam keadaan krisis. Kekerasan harus siap sedia setiap saat.

KESIMPULAN DAN TANGGAPAN
Melihat uraian Schmitt di atas yang merupakan ciri khas distingsi antara kawan dan lawan ternyata mampu menggerakan tindakan kekerasan sang subjek kedaulatan. Hal ini kemudian bisa membenarkan praktek militerisme yang kerap terjadi dewasa ini. Di sini individu dimasukan ke dalam kolektivitas dan kemudian kolektivitas itu diajak untuk melawan kolektivitas yang lain. Massa dimobilisasi melawan masa, individualitas tak ada lagi dan darah dijadikan lambang kekuatan kedaulatan. Suatu negara mendeferensiasikan diri dari negara yang lain. Perdamaian antara kawan dan lawan tidak dinyatakan sebagai sebuah akhir yang abadi melainkan hanya suatu masa di mana di kemudian hari akan terjadi konflik kembali. Hal ini ditujukan untuk menciptakan krisis atau keadaan darurat sehingga sang subjek kedaulatan dapat membuat keputusan untuk mempertahankan kedaulatannya. Dalam pandangan ini, titik puncak politik agung merupakan momen terlihatnya lawan dalam segala kekonkretannya sebagai lawan dalam suatu tindakan kekerasan. Kekerasan tidak pernah lepas dari keputusan sang subjek kedaulatan. Keduanya berkerja bersama untuk menyelamatkan Yang politis dan menempatkannya sesuai dengan martabatnya.
Filsafat Politik Schmitt memang mengagumkan. Ia menginginkan dunia ini tetap berjalan dengan penuh perjuangan dan mencoba menghindar dari positivisme yang mendatarkan kehidupan bermasyarakat atau bernegara. Ia mencoba membuat manusia keluar dari hukum-hukum yang mengatur kehidupan mereka. Dengan bangkitnya Yang Politis manusia akan bisa menemukan kegairahan dalam perjuangan entah dengan pertentangan ataupun perang, sebagai penyelesaian yang ekstrim. Semuanya berjalan menuju suatu “order” yang diinginkan, terutama yang diinginkan oleh sang subjek kedaulatan. Keputusan sang subjek kedaulatan menjadi titik pijak dalam menata negara di kemudian hari.
Saya pribadi menyatakan teori ini sebagai teori metafisis yang cemerlang dan yang mau membawa dunia kepada pengatur atau pemimpin yang tunggal di mana pemimpin itu adalah subjek yang mampu membuat keputusan yang berkualitas dan bermartabat. Jika ini terjadi maka dunia akan menjadi teratur dan selalu berkembang. Namun, kecenderungan buruk bisa saja terjadi ketika dengan teori ini satu orang atau sang pemimpin itu sendiri mampu mendapatkan kedaulatan dan mayoritas kehilangan jati diri dan juga kedaulatannya. Tambah lagi, kekerasan merupakan alat atau sarana yang dipakai untuk mewujudkan kedaulatan dan membuat keputusan. Keadaan darurat sepertinya bukan kondisi yang alami terjadi melainkan hasil kreasi untuk memposisikan yang politis.
Maka, setelah mempelajari filsafat politik ini dan membaca beberapa literatur yang membantu, saya beranggapan bahwa dengan keputusan yang dibuat oleh sang subjek kedaulatan dalam mengatasi kekerasan atau keadaan darurat sepertinya tidak mencerminkan keadilan. Keputusan yang dibuat oleh satu orang dan harus ditaati oleh sekelompok orang bisa bersifat arbitrer dan subjektif pada dirinya, bila diselewengkan. Jika demikian, pandangan desisionisme ini mengafirmasi kediktatoran di mana hal tersebut bisa dipimpin oleh pihak yang menang dan kuat entah itu segerombolan orang jahat. Kalau begini prosesnya, maka keadilan tak akan tercapai. Keadilan merupakan ciptaan dari penguasa. Tambah lagi, tak adanya sistem dalam negara ini akan membuat stabilitas mudah goyah. Sistem harus dibentuk dan dikuatkan dan ini membutuhkan waktu yang lama dan tidak bisa begitu saja dihilangkan hanya untuk membuat keputusan yang sprung dan demi Yang Politis.
Adanya dikotomi kawan dan lawan sepertinya membuat hidup di dunia ini tidak aman. Memang dasar pemikirannya adalah manusia yang jahat, namun adanya martabat manusia yang jahat tidak selalu akan mencerminkan suatu permusuhan. Bisa saja ada persahabatan di antara yang jahat. Antinomi kawan dan lawan dalam pemikiran Schmitt saya rasa sangatlah mereduksi apa yang dinamakan persahabatan. Dunia sepertinya tidak selamanya dan secara keseluruhan hidup dalam konflik. Pasti ada beberapa sisi baik yang diwujudkan. Salah satunya adalah cinta, bisa saja dunia ini diciptakan atas dasar cinta (universal) di mana dengan berdasar pada itu keadilan dan keutamaan yang lain teratasi.



DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996
Hardiman, F. Budi. Kedaulatan dan Krisis menurut Carl Schmitt, dalam Manuskrip Filsafat Politik STF Driyarkara, 2001
Schmitt, Carl. Concept of the Political, Chicago: Univ Press, 199

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home