Saturday, April 21, 2007

NIRWANA

Thomas P Kasulis

Dalam ringkasan di bawah ini tertuang tulisan Thomas P Kasulis yang meceritakan realitas Budhisme sekarang ini mengenai Nirwana. Pandangan ini dijelaskan dengan sangat menarik dan apa yang dituliskannya ternyata pandangan akan Nirwana itu antara satu tempat dengan lainnya tidak sama dengan apa yang diterima Sidhartha Gautama 25 abad yang lalu. Maka tidaklah heran bila menemukan berbagai tradisi Budhisme yang menekankan berbagai pencerahan menurut tekanan mereka masing-masing.

Nirwana dalam Budhist Perdana dan Tradisi Abhidharma

Pali Nikayas dan Chinese Agamas merupakan karya yang pertama kali ditulis, karya ini muncul setelah 2 atau tiga abad kematian Budha, terdapat sedikit diskusi filosofis tentang hakikat Nirwana. Nirwana secara sederhana disimpulkan sebagai solusi praktis untuk problem-problem esensial kesedihan manusia. Dalam banyak kasus Nirwana dideskripsikan dalam istilah negatif seperti penghentian (nirodha), keabsenan candu (trsnaksya), melepaskan, ketiadaan khayalan, dan yang tak terkondisikan (asamskrta). Meskipun dalam komentar-komentar di Nikayas dan Abhidharma terdapat referensi positif yang tersebar contohnya kebahagiaan (sukha), damai, kegembiraan, dan transenden metafor seperti pantai yang jauh, tetapi image negatif masih menonjol. Nirwana, sebenarnya, berarti kepunahan, seperti moksa dan mukti, yang menunjuk pada emansipasi dan disamartikan dengan nafsu, benci, dan kealfaan.
Pandangan kepunahan mengartikan pencerahan seseorang yang telah mentransendesikan penderitaan dalam dunia ini sehingga ia akan benar-benar dilepaskan dari Samsara, lingkaran kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali. Kemenduaan arti Samsara dan Nirwana mengacu pada apakah istilah ini mengacu pada sisi psikologi atau ontologi. Jika Samsara mengacu pada psikologi yang mendukung penderitaan, maka transisi dari Samsara ke Nirwana hanyalah suatu perubahan dasar dalam bersikap, perspektif, dan motivasi. Lalu, jika Samsara mengacu pada dunia kesakitan itu sendiri maka Nirwana haruslah berada di tempat yang lain. Sebagai akibat Nirwana dapat dimengerti sebagai kesenangan yang permanen yang melampaui kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali. Reaksi melawan interpretasi ini dipengaruhi oleh pandangan pencerahan Budhis Mahayana.

Nirwana dalam Tradisi Budhis Mahayana India

Budhis Mahayana India meminimalkan pengertian Nirwana dan Samsara, meninggalkan suatu saran yang mengatakan bahwa Nirwana adalah pelarian diri dari dunia penderitaan. Namun, mereka memahami pencerahan sebagai kebijaksanaan dan jalan kepedihan akan hidup di dunia ini.


Kebijaksanaan Sempurna dan Tradisi Madhyamika.
Slaah satu strategi Mahayana adalah untuk menyingkirkan basis epistimologi dan logika untuk pembedaan yg tajam bagi konsep Nirwana dan Samsara yaitu kesalingan antara Nirwana dan Samsara. Efeknya, pemikiran Madhyamika meradikalkan keheningan Buhda yang asli sehingga itu mencoba menunjukan adanya usaha filosofis untuk mengspesifikan realitas, membatasinya dengan ketergantungan logis dari kata-kata atau konsep-konsep. Maka Nirwana dan Samsara harus bergantung pada setiap orang, dan tidak bisa menjadi absolut di dalam dirinya.
Untuk penganut Madhyamika, sebab riil dari kekacauan manusia adalah melalui penamaan dan penganalisaan. Kita mencoba untuk menggengam dan memegang sesuatu yg ada hanya melalui kekaguman akan perjanjian bahasa. Ketika seseorang mengetahui bahwa rasa substansial dari ego berdasar pada perbedaan bahasa yang memiliki basis yang luas, sikap pencerahan mengembangkan di mana seseorang secara aktif membagikan penderitaannya terhadap semua manusia sadar.

Nirwana dalam Tradisi Idealistik dan Yogacara
Pendekatan khas akan idealistik teks seperti Lankavatara Sutra dan Yogacara adalah untuk menyatakan bahwa Nirwana dan Samsara telah memiliki dasar yang umum, yaitu, aktifitas dari pikiran. Terminologi ini berbeda dari teks ke teks dan pemikir ke pemikir, tetapi kepercayaan akan Budhisme Mahayana ini adalah bahwa pikiran adalah basis dari khayalan (dimengerti sebagai Samsara) dan pencerahan (dimengerti sebagai Nirwana). Pandangan akan pemikiran ini ada relasi dengan kebiasan-kebiasaan Budhis dan kemudian dapat mempengaruhi perkembangan Budhis Mahayana selanjutnya.
Ketika memulai dengan pendekatan psikologis dalam pencerahan, sebuah masalah akan timbul secara umum. Nirwana dan Samsara akan bergantung pada suatu pemikiran dalam beberapa sense sehingga masalah filsuf Yogacara menjadi usaha menjelaskan dasar objektif Nirwana, walaupun, kebenaran itu sendiri akan selalu subjektif.

Buddhahood dalam Budhisme Mahayana yang Devotif
Ontologi dari Nirwana dan hakikat metafisiknya juga merupakan tema dalam kebiasan-kebiasaan regius Mahayana yang agak di luar kepercayaan formal para filsuf. Perkembangan ini dihubungkan dengan perkembangan pendapat bahwa Budha historis yang telah wafat pada abad ke 5 SM sebenarnya hanya suatu manifestasi duniawi akan Budha yang abadi. Evolusi dari kuil Budha itu konsisten dengan prinsip umum Mahayana bahwa komponen yang diperlukan dari pencerahan itu adalah belas kasihan. Budha dipercaya tidak akan meninggalkan meeka yang belum meraih Nirwana dan mereka yang masih berada dalam kesedihan. Interpretasi ini dapat diperdebatkan bila Nirwana merupakan pelepasan dari lingkaran kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali. Jika masa Budha di dunia berlanjut, walaupun setelah ketidakberadaan fisik dari orang-orang yang dicerahkan, pencerahan harus lebih dimanifestasikan daripada diraih. Pemikiran ini mendukung untuk penyebaran Budhisme Mahayana ke Asia Timur.

Nirwana dalam tradisi Budhis Asia Timur
Pengikut Mahayana secara umum tertarik pada kebenaran yang mana pencerahan merupakan keterbangunan dari sakit yang dengannya sakit itu dihilangkan. Tekanan aspek positif pencerahan juga menjadi sebab dikuranginya pentingnya arti Nirwana sebagai pelepasan dari kelahiran kembali. Ide selanjutnya Mahayana diterima oleh orang Cina, pencerahannya tersedia untuk setiap orang dalam hidup ini. Tradisi Abhidharma secara umum mengasumsikan jalan pencerahan akan melalui waktu yang lama, dan bahwa kelahiran kembali yang terakhir dalam kemajuan hidup ini akan seperti seorang biksu yang terberkati. Ide Mahayana adalah bahwa kemenjadian pencerahan ataupun dicerahkan memilih untuk tetap aktif terlibat dalam pengurangan kesengsaraan dengan membawanya kepada pencerahan. Tujuan Budhisme Abhidharma dan Mahayana adalah pencerahan bagi semua orang, tetapi mengingat dalam pandangan Abhidharma pencerahan diraih oleh satu orang dalam suatu waktu dan kelompok sebagai keseluruhan yang mengangkat ke atas seperti efek piramid, artinya peraihan pencerahan secara simultan.
Dibandingkan dengan konfusianisme, taoisme lebih asketis, mitis, dan duniawi secara relatif. Dalam taoisme, seperti dalam Budhisme Mahayana, prinsip absolut menjadi imanen secara utuh di dunia ini. pencapaian hal ini mudah untuk setiap orang yaitu dengan bermeditasi dan hidup tertib secara benar.

Nirwana dalam Sekolah-sekolah T’ien-t’ai dan Hua-yen
Tradisi T’ien-t’ai dan Hua-yen merumuskan pandangan filosofis mereka yang rumit lepas dari ide-ide yang diusulkan Sutras. Dalam terminologi T’ien-t’ai seperti dikembangkan oleh beberapa filsuf, contohnya Chih-I (538-597), semua “3000 dunia” direfleksikan dalam pemikiran tunggal. Faktor kesatuan dimengerti untuk menjadi pikiran. Untuk pengikut T’ien-t’ai pikiran dasar adalah mereka sendiri harus selalu murni dan tidak mengandung khayalan dan pencerahan.
Asumsi T’ien-t’ai yang mendasari pikiran memiliki dua konsekwensi yang penting. Pertama, tujuannya adalah untuk menjelaskan pencelupan dalam pikiran. Kedua, pemberkatan dari Budha alami. Tujuannya adalah untuk menyadari atau memanifestasikan bahwa pencerahan ada dalam diri seseorang. Hubungan antara pencerahan yang melekat dan yang diperoleh menjadi problem utama dalam tradisi T’ien-t’ai. Budhisme Cina Hua-yen juga menyetujui saling ketergantungan dan harmoni di antara segalanya. Maka dalam teori T’ien-t’ai dan Hua Yen, kita menemukan interpretasi ulang akan Nirwana. Fokus Budhis T’ien-t’ai dan Hua-Yen adalah dalam mengenal harmoni dalam alam semesta dan perasaan secara intim bagian darinya.

Nirwana dalam Sekolah Ch’an (Zen)
Ch’an adalah sekolah lain yang berasal dari india, tetapi tradisinya dikembangkan secara utuh hanya di Asia Timur. Fokus Ch’an lebih pada aspek interpersonal dari pengalaman pencerahan. Pencerahan itu seharusnya dimanifestasikan setiap saat dalam setiap aktivitas seseorang. Tujuannnya adalah untuk membuat pencerahan termanifestasi sejalan dengan urusan sehari-hari setiap pribadi. Sudut pandangnya adalah untuk mengurangi tekanan pada meditasi sederhana untuk taktik kejutan akan teriakan, pukulan, dan penggunaan kung-an. Pandangannya benar dalam mempertahankan kesadaran, yaitu keterbangunan menuju hakikat Budha dalam diri setiap pribadi. Sebetulnya semua tradisi Ch’an (dan Son dan Zen), pencerahan itu lebih pada insight ataupun rasa keharmonisan.

Nirwana dalam tradisi Pure Land
Budhisme Pure Land merupakan bagian dari tradisi Mahayana yang memiliki akar Sutras India tetapi ini hanya berkembang di Asia Timur. Hal ini terjadi karena adanya ketidakpercayaan bahwa manusia kemungkinan tidak akan lagi menjalankan kebiasaan-kebiasaan Budha yang original dan juga tidak ada lagi tujuan ke Nirwana. Manusia dapat mencapai pencerahan dan bahkan dapat kembali ke dunia sebagai bodhisattvas untuk membantu dalam kemajuan spiritual. Kritikan utama untuk Budhis Pure Land ini adalah manusia sekarang ini tidak dapat meraih Nirwana dengan kekuatan mereka sendiri (jiriki). Manusia setidaknya harus menyerahkan diri pada kekuatan yang lain, dengan begitu dibutuhkan kepercayaan terhadap hati dan budi. Maka pencerahan dapat diraih dengan pelepasan diri terhadap “naturalness” (jinen honi)

Nirwana dalam Tradisi Esoterik
Bentuk Esoterik, Vajrayana, atau Tantrik dapat diperlihatkan sebagai perluasan dari Mahayana. Secara umum, ini memiliki pengaruh di Tibet (termasuk perluasan Mongolia, yaitu Budhisme Tibet) dan di Jepang. Esoterisme menyatukan kebiasan-kebiasannya dan doktrin-doktrinnya dengan Shamanisme setempat, seperti Bon dan Shinto. Dalam pemikiran tersebut Nirwana menjadi dimensi yang penting, yaitu pemikiran pencerahan dimengerti dalam pencerahan Budha yang sebagai realitas. Maka pelaksanaan kepercayaan dan pandangannya ini menjadi ekspresi konkrit dari pencerahan Budha. Dalam Budhisme Jepang, hal semacam ini ditempatkan oleh Kukai (117-835). Prinsip mereka adalah Budha sebagai realitas terus mengajar kebenaran (dharma). Pandangan Kukai akan pencerahan dapat disimpulkan sebagai peraihan Budha dalam dan melalui tubuh duniawi (sokushin jobutsu). Lalu arti pencerahan adalah tidak melekat pada dunia tetapi lebih pada dunia itu sendiri adalah pengalaman dari pencerahan.

Wasana Kata

Dalam tulisan tentang Nirwana dijelaskan berbagai pandangan Nirwana yang lahir dari kebudayaan sejarah, bahasa, pendidikan, dan bahkan manusianya sendiri. Pandangan tentang Nirwana memang berbeda-beda dan tidaklah merupakan pandangan yang tunggal. Ludwig Wittgenstein menyebutnya sebagai “family resemblance” karena ia melihatnya sebagai suatu kelompok karateristik di mana tidak ada satu anggota tradisipun secara keseluruhan memilikinya jadi hal ini terjadi karena setiap anggota membagikannya kepada yang lain karena mereka mengangga yang lain itu tak terbedakan. Maka konsep Budhisme tentang bisa disimpulkan sebagai berikut:
1. Nirwana, suatu pelepasan dari ketidaktahuan tentang jalan hidup di dunia. Nirwana adalah mengetahui dan menghidupi dengan kebenaran dalam dunia secara fundamental. Maka orientasinya adalah kehidupan duniawi.
2. Pengetahuan yang diraih Nirwana tidak selalu intelektual atau spiritual. Nirwana digapai melalui proses psikologi dan fisik yang bertujuan untuk reorientasi sikap egois dalam berpikir dan bertindak. Nirwana dicapai melalui dan dengan tubuh, tidak lepas dari tubuh.
3. Seseorang itu tidak sendirian dalam suatu jalan karena ada pendukungnya, seperti teks, filosofi hidupnya, tradisi, komunitas, bahkan batu ataupun pohon.
4. Nirwana itu dicapai dengan berusaha merasuk dan merebak sayatan-sayatan yang memisahkan kemanusiaan/kodrat, self/other, subjek/objek, dan bahkan Nirwana/Samsara. Nirwana memerlukan suatu pengakuan dari keharmonisan dan kesamaan segala sesuatu.
5. Nirwana secara instrinsik memiliki aspek moral. Dengan menerangi semua ide-ide egosentris, emosi, dan aksi, manusia yang terterangi mendekati sesamanya dengan ketenangan hati yang sempurna dan kasih. Nirwana memuncak dalam keterbukaan sehingga menjadi penyembuh moral bagi sesama dan yang lainnya, karena keberanian menerima.
6. Nirwana dapat dipahami dari perspektif psikologi atau ontologi. Secara psikologi, Nirwana itu suatu perubahan radikal dalam bertindak seperti manusia tidak lagi mengalami pengaruh negatif dari pemikiran egosentris. Ketercanduan menimbulkan penyimpangan yang dapat disembukan dengan dengan menyatakan aspek ontologi dari Nirwana.

Secara umum, Nirwana itu suatu affirmasi dari kebaikan yang menjadi sifatnya dalam dunia dan bahkan kodrat manusia. Nirwana tidak selalu suatu pengalaman (seperti digambarkan dalam pandangan psikologi) tetapi hal itu juga merupakan isi atau bahkan dasar dari pengalaman. Singkatnya, antara pandangan psikologi dan ontologi berisi kebenaran tentang hakikat dari Nirwana, yang jika dikembangkan akan berujung pada penyimpangan jalan Budha. Maka tidak usah terlalu diperbesar pandangannya, tetapi kedua pandangan ini akan tetap selalu melengkapi. Bila terjadi penyembuhannya dengan menetralkannya dengan tekanan yang lebih pada sisi psikologis Nirwana.