Saturday, April 21, 2007

NIRWANA

Thomas P Kasulis

Dalam ringkasan di bawah ini tertuang tulisan Thomas P Kasulis yang meceritakan realitas Budhisme sekarang ini mengenai Nirwana. Pandangan ini dijelaskan dengan sangat menarik dan apa yang dituliskannya ternyata pandangan akan Nirwana itu antara satu tempat dengan lainnya tidak sama dengan apa yang diterima Sidhartha Gautama 25 abad yang lalu. Maka tidaklah heran bila menemukan berbagai tradisi Budhisme yang menekankan berbagai pencerahan menurut tekanan mereka masing-masing.

Nirwana dalam Budhist Perdana dan Tradisi Abhidharma

Pali Nikayas dan Chinese Agamas merupakan karya yang pertama kali ditulis, karya ini muncul setelah 2 atau tiga abad kematian Budha, terdapat sedikit diskusi filosofis tentang hakikat Nirwana. Nirwana secara sederhana disimpulkan sebagai solusi praktis untuk problem-problem esensial kesedihan manusia. Dalam banyak kasus Nirwana dideskripsikan dalam istilah negatif seperti penghentian (nirodha), keabsenan candu (trsnaksya), melepaskan, ketiadaan khayalan, dan yang tak terkondisikan (asamskrta). Meskipun dalam komentar-komentar di Nikayas dan Abhidharma terdapat referensi positif yang tersebar contohnya kebahagiaan (sukha), damai, kegembiraan, dan transenden metafor seperti pantai yang jauh, tetapi image negatif masih menonjol. Nirwana, sebenarnya, berarti kepunahan, seperti moksa dan mukti, yang menunjuk pada emansipasi dan disamartikan dengan nafsu, benci, dan kealfaan.
Pandangan kepunahan mengartikan pencerahan seseorang yang telah mentransendesikan penderitaan dalam dunia ini sehingga ia akan benar-benar dilepaskan dari Samsara, lingkaran kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali. Kemenduaan arti Samsara dan Nirwana mengacu pada apakah istilah ini mengacu pada sisi psikologi atau ontologi. Jika Samsara mengacu pada psikologi yang mendukung penderitaan, maka transisi dari Samsara ke Nirwana hanyalah suatu perubahan dasar dalam bersikap, perspektif, dan motivasi. Lalu, jika Samsara mengacu pada dunia kesakitan itu sendiri maka Nirwana haruslah berada di tempat yang lain. Sebagai akibat Nirwana dapat dimengerti sebagai kesenangan yang permanen yang melampaui kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali. Reaksi melawan interpretasi ini dipengaruhi oleh pandangan pencerahan Budhis Mahayana.

Nirwana dalam Tradisi Budhis Mahayana India

Budhis Mahayana India meminimalkan pengertian Nirwana dan Samsara, meninggalkan suatu saran yang mengatakan bahwa Nirwana adalah pelarian diri dari dunia penderitaan. Namun, mereka memahami pencerahan sebagai kebijaksanaan dan jalan kepedihan akan hidup di dunia ini.


Kebijaksanaan Sempurna dan Tradisi Madhyamika.
Slaah satu strategi Mahayana adalah untuk menyingkirkan basis epistimologi dan logika untuk pembedaan yg tajam bagi konsep Nirwana dan Samsara yaitu kesalingan antara Nirwana dan Samsara. Efeknya, pemikiran Madhyamika meradikalkan keheningan Buhda yang asli sehingga itu mencoba menunjukan adanya usaha filosofis untuk mengspesifikan realitas, membatasinya dengan ketergantungan logis dari kata-kata atau konsep-konsep. Maka Nirwana dan Samsara harus bergantung pada setiap orang, dan tidak bisa menjadi absolut di dalam dirinya.
Untuk penganut Madhyamika, sebab riil dari kekacauan manusia adalah melalui penamaan dan penganalisaan. Kita mencoba untuk menggengam dan memegang sesuatu yg ada hanya melalui kekaguman akan perjanjian bahasa. Ketika seseorang mengetahui bahwa rasa substansial dari ego berdasar pada perbedaan bahasa yang memiliki basis yang luas, sikap pencerahan mengembangkan di mana seseorang secara aktif membagikan penderitaannya terhadap semua manusia sadar.

Nirwana dalam Tradisi Idealistik dan Yogacara
Pendekatan khas akan idealistik teks seperti Lankavatara Sutra dan Yogacara adalah untuk menyatakan bahwa Nirwana dan Samsara telah memiliki dasar yang umum, yaitu, aktifitas dari pikiran. Terminologi ini berbeda dari teks ke teks dan pemikir ke pemikir, tetapi kepercayaan akan Budhisme Mahayana ini adalah bahwa pikiran adalah basis dari khayalan (dimengerti sebagai Samsara) dan pencerahan (dimengerti sebagai Nirwana). Pandangan akan pemikiran ini ada relasi dengan kebiasan-kebiasaan Budhis dan kemudian dapat mempengaruhi perkembangan Budhis Mahayana selanjutnya.
Ketika memulai dengan pendekatan psikologis dalam pencerahan, sebuah masalah akan timbul secara umum. Nirwana dan Samsara akan bergantung pada suatu pemikiran dalam beberapa sense sehingga masalah filsuf Yogacara menjadi usaha menjelaskan dasar objektif Nirwana, walaupun, kebenaran itu sendiri akan selalu subjektif.

Buddhahood dalam Budhisme Mahayana yang Devotif
Ontologi dari Nirwana dan hakikat metafisiknya juga merupakan tema dalam kebiasan-kebiasaan regius Mahayana yang agak di luar kepercayaan formal para filsuf. Perkembangan ini dihubungkan dengan perkembangan pendapat bahwa Budha historis yang telah wafat pada abad ke 5 SM sebenarnya hanya suatu manifestasi duniawi akan Budha yang abadi. Evolusi dari kuil Budha itu konsisten dengan prinsip umum Mahayana bahwa komponen yang diperlukan dari pencerahan itu adalah belas kasihan. Budha dipercaya tidak akan meninggalkan meeka yang belum meraih Nirwana dan mereka yang masih berada dalam kesedihan. Interpretasi ini dapat diperdebatkan bila Nirwana merupakan pelepasan dari lingkaran kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali. Jika masa Budha di dunia berlanjut, walaupun setelah ketidakberadaan fisik dari orang-orang yang dicerahkan, pencerahan harus lebih dimanifestasikan daripada diraih. Pemikiran ini mendukung untuk penyebaran Budhisme Mahayana ke Asia Timur.

Nirwana dalam tradisi Budhis Asia Timur
Pengikut Mahayana secara umum tertarik pada kebenaran yang mana pencerahan merupakan keterbangunan dari sakit yang dengannya sakit itu dihilangkan. Tekanan aspek positif pencerahan juga menjadi sebab dikuranginya pentingnya arti Nirwana sebagai pelepasan dari kelahiran kembali. Ide selanjutnya Mahayana diterima oleh orang Cina, pencerahannya tersedia untuk setiap orang dalam hidup ini. Tradisi Abhidharma secara umum mengasumsikan jalan pencerahan akan melalui waktu yang lama, dan bahwa kelahiran kembali yang terakhir dalam kemajuan hidup ini akan seperti seorang biksu yang terberkati. Ide Mahayana adalah bahwa kemenjadian pencerahan ataupun dicerahkan memilih untuk tetap aktif terlibat dalam pengurangan kesengsaraan dengan membawanya kepada pencerahan. Tujuan Budhisme Abhidharma dan Mahayana adalah pencerahan bagi semua orang, tetapi mengingat dalam pandangan Abhidharma pencerahan diraih oleh satu orang dalam suatu waktu dan kelompok sebagai keseluruhan yang mengangkat ke atas seperti efek piramid, artinya peraihan pencerahan secara simultan.
Dibandingkan dengan konfusianisme, taoisme lebih asketis, mitis, dan duniawi secara relatif. Dalam taoisme, seperti dalam Budhisme Mahayana, prinsip absolut menjadi imanen secara utuh di dunia ini. pencapaian hal ini mudah untuk setiap orang yaitu dengan bermeditasi dan hidup tertib secara benar.

Nirwana dalam Sekolah-sekolah T’ien-t’ai dan Hua-yen
Tradisi T’ien-t’ai dan Hua-yen merumuskan pandangan filosofis mereka yang rumit lepas dari ide-ide yang diusulkan Sutras. Dalam terminologi T’ien-t’ai seperti dikembangkan oleh beberapa filsuf, contohnya Chih-I (538-597), semua “3000 dunia” direfleksikan dalam pemikiran tunggal. Faktor kesatuan dimengerti untuk menjadi pikiran. Untuk pengikut T’ien-t’ai pikiran dasar adalah mereka sendiri harus selalu murni dan tidak mengandung khayalan dan pencerahan.
Asumsi T’ien-t’ai yang mendasari pikiran memiliki dua konsekwensi yang penting. Pertama, tujuannya adalah untuk menjelaskan pencelupan dalam pikiran. Kedua, pemberkatan dari Budha alami. Tujuannya adalah untuk menyadari atau memanifestasikan bahwa pencerahan ada dalam diri seseorang. Hubungan antara pencerahan yang melekat dan yang diperoleh menjadi problem utama dalam tradisi T’ien-t’ai. Budhisme Cina Hua-yen juga menyetujui saling ketergantungan dan harmoni di antara segalanya. Maka dalam teori T’ien-t’ai dan Hua Yen, kita menemukan interpretasi ulang akan Nirwana. Fokus Budhis T’ien-t’ai dan Hua-Yen adalah dalam mengenal harmoni dalam alam semesta dan perasaan secara intim bagian darinya.

Nirwana dalam Sekolah Ch’an (Zen)
Ch’an adalah sekolah lain yang berasal dari india, tetapi tradisinya dikembangkan secara utuh hanya di Asia Timur. Fokus Ch’an lebih pada aspek interpersonal dari pengalaman pencerahan. Pencerahan itu seharusnya dimanifestasikan setiap saat dalam setiap aktivitas seseorang. Tujuannnya adalah untuk membuat pencerahan termanifestasi sejalan dengan urusan sehari-hari setiap pribadi. Sudut pandangnya adalah untuk mengurangi tekanan pada meditasi sederhana untuk taktik kejutan akan teriakan, pukulan, dan penggunaan kung-an. Pandangannya benar dalam mempertahankan kesadaran, yaitu keterbangunan menuju hakikat Budha dalam diri setiap pribadi. Sebetulnya semua tradisi Ch’an (dan Son dan Zen), pencerahan itu lebih pada insight ataupun rasa keharmonisan.

Nirwana dalam tradisi Pure Land
Budhisme Pure Land merupakan bagian dari tradisi Mahayana yang memiliki akar Sutras India tetapi ini hanya berkembang di Asia Timur. Hal ini terjadi karena adanya ketidakpercayaan bahwa manusia kemungkinan tidak akan lagi menjalankan kebiasaan-kebiasaan Budha yang original dan juga tidak ada lagi tujuan ke Nirwana. Manusia dapat mencapai pencerahan dan bahkan dapat kembali ke dunia sebagai bodhisattvas untuk membantu dalam kemajuan spiritual. Kritikan utama untuk Budhis Pure Land ini adalah manusia sekarang ini tidak dapat meraih Nirwana dengan kekuatan mereka sendiri (jiriki). Manusia setidaknya harus menyerahkan diri pada kekuatan yang lain, dengan begitu dibutuhkan kepercayaan terhadap hati dan budi. Maka pencerahan dapat diraih dengan pelepasan diri terhadap “naturalness” (jinen honi)

Nirwana dalam Tradisi Esoterik
Bentuk Esoterik, Vajrayana, atau Tantrik dapat diperlihatkan sebagai perluasan dari Mahayana. Secara umum, ini memiliki pengaruh di Tibet (termasuk perluasan Mongolia, yaitu Budhisme Tibet) dan di Jepang. Esoterisme menyatukan kebiasan-kebiasannya dan doktrin-doktrinnya dengan Shamanisme setempat, seperti Bon dan Shinto. Dalam pemikiran tersebut Nirwana menjadi dimensi yang penting, yaitu pemikiran pencerahan dimengerti dalam pencerahan Budha yang sebagai realitas. Maka pelaksanaan kepercayaan dan pandangannya ini menjadi ekspresi konkrit dari pencerahan Budha. Dalam Budhisme Jepang, hal semacam ini ditempatkan oleh Kukai (117-835). Prinsip mereka adalah Budha sebagai realitas terus mengajar kebenaran (dharma). Pandangan Kukai akan pencerahan dapat disimpulkan sebagai peraihan Budha dalam dan melalui tubuh duniawi (sokushin jobutsu). Lalu arti pencerahan adalah tidak melekat pada dunia tetapi lebih pada dunia itu sendiri adalah pengalaman dari pencerahan.

Wasana Kata

Dalam tulisan tentang Nirwana dijelaskan berbagai pandangan Nirwana yang lahir dari kebudayaan sejarah, bahasa, pendidikan, dan bahkan manusianya sendiri. Pandangan tentang Nirwana memang berbeda-beda dan tidaklah merupakan pandangan yang tunggal. Ludwig Wittgenstein menyebutnya sebagai “family resemblance” karena ia melihatnya sebagai suatu kelompok karateristik di mana tidak ada satu anggota tradisipun secara keseluruhan memilikinya jadi hal ini terjadi karena setiap anggota membagikannya kepada yang lain karena mereka mengangga yang lain itu tak terbedakan. Maka konsep Budhisme tentang bisa disimpulkan sebagai berikut:
1. Nirwana, suatu pelepasan dari ketidaktahuan tentang jalan hidup di dunia. Nirwana adalah mengetahui dan menghidupi dengan kebenaran dalam dunia secara fundamental. Maka orientasinya adalah kehidupan duniawi.
2. Pengetahuan yang diraih Nirwana tidak selalu intelektual atau spiritual. Nirwana digapai melalui proses psikologi dan fisik yang bertujuan untuk reorientasi sikap egois dalam berpikir dan bertindak. Nirwana dicapai melalui dan dengan tubuh, tidak lepas dari tubuh.
3. Seseorang itu tidak sendirian dalam suatu jalan karena ada pendukungnya, seperti teks, filosofi hidupnya, tradisi, komunitas, bahkan batu ataupun pohon.
4. Nirwana itu dicapai dengan berusaha merasuk dan merebak sayatan-sayatan yang memisahkan kemanusiaan/kodrat, self/other, subjek/objek, dan bahkan Nirwana/Samsara. Nirwana memerlukan suatu pengakuan dari keharmonisan dan kesamaan segala sesuatu.
5. Nirwana secara instrinsik memiliki aspek moral. Dengan menerangi semua ide-ide egosentris, emosi, dan aksi, manusia yang terterangi mendekati sesamanya dengan ketenangan hati yang sempurna dan kasih. Nirwana memuncak dalam keterbukaan sehingga menjadi penyembuh moral bagi sesama dan yang lainnya, karena keberanian menerima.
6. Nirwana dapat dipahami dari perspektif psikologi atau ontologi. Secara psikologi, Nirwana itu suatu perubahan radikal dalam bertindak seperti manusia tidak lagi mengalami pengaruh negatif dari pemikiran egosentris. Ketercanduan menimbulkan penyimpangan yang dapat disembukan dengan dengan menyatakan aspek ontologi dari Nirwana.

Secara umum, Nirwana itu suatu affirmasi dari kebaikan yang menjadi sifatnya dalam dunia dan bahkan kodrat manusia. Nirwana tidak selalu suatu pengalaman (seperti digambarkan dalam pandangan psikologi) tetapi hal itu juga merupakan isi atau bahkan dasar dari pengalaman. Singkatnya, antara pandangan psikologi dan ontologi berisi kebenaran tentang hakikat dari Nirwana, yang jika dikembangkan akan berujung pada penyimpangan jalan Budha. Maka tidak usah terlalu diperbesar pandangannya, tetapi kedua pandangan ini akan tetap selalu melengkapi. Bila terjadi penyembuhannya dengan menetralkannya dengan tekanan yang lebih pada sisi psikologis Nirwana.

JAQUES DERRIDA

Jika suatu saat kita mendengar seseorang berbicara tentang Jaques Derrida mungkin secara spontan akan terbersit dalam pikiran kita suatu konsep darinya, yaitu dekonstruksi, suatu konsep yang ingin meruntuhkan tradisi pemikiran-pemikiran para filsuf sebelumnya dalam konteks rasionalisme barat dan metafisikanya. Sepertinya dengan dekonstruksi, ia ingin berargumen secara kritis terhadap tradisi yang sangat mempertahankan kehadiran dalam proyek metafisika, kebenaran yang ada pada dirinya, dan kesuperioran bahasa lisan terhadap tulisan.
Pemikiran filosofis Derrida lebih merupakan suatu usaha untuk menanggapi atau menolak pemikiran yang berbasis metafisika atau kehadiran. Ia berargumen terhadap pemikiran-pemikiran tersebut, menginterogasinya, kemudian mendekonstuksinya. Kelihaiannya dalam ketidaksetujuan terhadap para filsuf sebelumnya mewarnai dunia filsafat sekarang ini. Ia kini menjadikan suatu pemikiran sebagai “teks” yang selalu menunjuk pada yang lain dan yang tidak akan pernah berhenti, atau tidak sampai pada yang absolut.
Maka untuk memahami kelihaiannya dalam berfilsafat, penulis akan menjabarkan pemikiran-pemikirannya dari yang sederhana sampai yang rumit agar pembaca dapat lebih mudah memahami pemikiran Derrida. Tulisan ini akan diawali dengan sejarah singkat dan juga karya-karyanya untuk memperlihatkan latar belakang konsep dekonstruksinya. Kemudian penulis akan menjelaskan tentang Derrida dan dekonstruksinya lewat butir-butir Ada sebagai kehadiran, trace, gramatologi, dan différance. Setelah menjelaskan pemikirannya ini penulis akan memberikan tanggapan seperti mengapa filsuf ini begitu ingin untuk menjalankan proyek dekonstruksi? Mengapa ia tidak senang dengan yang struktural? Ke-manakah dunia ini akan dibawanya?


I. SEJARAH SINGKAT JAQUES DERRIDA

Derrida merupakan seorang filsuf Prancis yang radikal dengan ciri berhingga-nya. Ia selalu menolak berbagai pandangan dari para filsuf sebelumnya dan menyatakan bahwa segala sesuatu menunjuk pada yang lain. Ia merupakan pribadi yang sangat kompeten dan peduli dengan filsafat. Hal ini ia buktikan dengan keaktifannya dalam memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada taraf sekolah menengah.
Ia lahir pada 1930 di Alegeria dan wafat pada 2004. Ia belajar di Ecole normale superieure dan pernah mengajar di sana juga. Ia datang ke dunia filsafat dengan mempertanyakan metafisika kehadiran-nya para filsuf sebelumnya.
Ia juga banyak menyumbangkan tulisan di dunia filsafat. Karya-karyanya juga diminati banyak orang, terutama karena kekritisannya dalam merefleksikan filsafat-filsafat sebelumnya dengan bahasa dan juga pengertiannya sendiri. Karya-karyanya dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut: Introduction in Edmund Hussrel (1962), La Voix et la phénoméne (1967), De la Grammatologie (1967), L’Écriture et la Différence (1967), Marges – de la Philosophie (1972), Glas (1974), Éperons: les Styles de Nietzsche (1978), De l’esprit: Heidegger et la Guestion (1987), Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority” (1992), Spectres de Marx (1993), dan masih banyak lagi karyanya hingga akhir hayatnya.

II. DERRIDA DAN DEKONSTRUKSI

Konteks Historis
Untuk memahami lebih dalam mengenai pemikiran Derrida, kita diharapkan telah membiasakan diri dengan pemikiran para filsuf Barat seperti Kant, Hegel, Marx, Nietzsche, Husserl, Heidegger, Levinas, Saussure, Levi-Straus, Austin, Foucault, dan Freud. Para filsuf inilah yang mendorong pemikiran Derrida. Dalam karya-karyanya, Derrida pun juga menafsirkan ulang pemikiran beberapa filsuf modern dan kontemporer ini. Nah, lewat tafsiran-tarfsirannya inilah Derrida mengawali pemikirannya yang bertemakan “Dekonstruksi”.
Pemikiran Dekonstruksi ini merupakan jawaban atas situasi pemikiran yang dikuasai post-Hegelian yang sangat menekankan metafisika. Dalam “dunia yang lupa akan Ada ,” metafisika selalu menjadi tema yang utama dan tetap. Pemahaman seperti ini sepertinya telah dikembangkan oleh Kant dan bahkan Descartes. Maka, dogma-dogma metafisika dan bahasa-bahasa metafisika yang merupakan tradisi lama menjadi bahan kritikannya.
Dalam karya-karya awalnya, Derrida masuk ke dalam proyek fenomenologinya Husserl. Di sini Husserl hanyalah melanjutkan tradisi metafisika untuk mendapatkan kebenaran sebagai kehadiran pada dirinya. Selain Husserl, Derrida juga memakai beberapa pemikiran Heidegger di mana ada juga beberapa yang dibantahnya. Derrida sempat tenggelam dalam pemikiran Heidegger bahwa pemikiran bukanlah yang menentukan bahasa melainkan bahasalah yang menentukan pikiran. Jika pikiran itu selalu terbatas oleh bahasa yang berhingga yang tidak bisa menjadi ‘master’ maka bisa dikatakan bahwa pikiran dapat menimbulkan masalah-masalah tentang cara-cara berbahasa yang telah ditentukan. Maka, dengan mempelajari pemikiran-pemikiran para filsuf yang berpengaruh, ia menemukan teorinya yang sama sekali bertolak belakang dengan pemikiran mereka.
Konsep dekonstruksi Derrida merupakan suatu perubahan istilah yang sebelumnya pernah dikatakan oleh Heidegger, yaitu mengenai destruksi. Dalam Sein und Zeit, Heidegger menganjurkan diadakannya destruksi terhadap konsep-konsep metafisika. Pen-destruksi-an ini dikhususkan pada metafisika yang sangat setia terhadap struktur. Tujuannya adalah untuk merenggangkan cara berpikir yang memang sudah terstruktur ini atau dengan kata lain untuk membebaskan cara berpikir yang terstruktur (de-structuring). Heidegger ingin manusia berpikir dengan cara pandang yang original .
Konsep dekonstruksi Derrida hampir sama dengan konsep destruksi Heidegger. Namun, Derrida tidaklah kembali pada yang original. Ia menyatakan bahwa segala sesuatu adalah teks. Dengan pandangan ‘teks’ ini, ia menolak tradisi metafisika filsafat barat dalam mengungkap kehadiran pada dirinya yang dinyatakan sebagai kebenaran yang absolut dan ditandai melalui bahasa lisan. Realitas adalah teks dan memiliki ciri berhingga.


Ada sebagai Kehadiran
Dalam pandangan filsafat Derrida, filsafat dan ilmu pengetahuan adalah hal yang sama secara fundamental. Ia menolak adanya pandangan akan pertentangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang selalu berada dalam kondisi yang satu menyingkirkan yang lain atau yang satu mencuri tempat yang lain. Memang sekarang ini ilmu pengetahuan lebih dikembangkan namun itu bukan berarti pengetahuan memojokan filsafat. Mereka itu dalam kesamaannya berakar dalam rasionalitas. Nah, rasionalitas itulah yang membuat mereka berada dan dapat berlangsung sampai saat ini.
Dengan berdasar pada rasionalitas, Derrida mengungkap pemikirannya. Ia mencoba mengungkap Ada yang dimengerti sebagai kehadiran. Untuk mengujinya ia masuk ke dalam metafisika, tetapi bukan metafisika seperti yang dimaksud filsuf-filsuf modern atau filsuf-filsuf sebelum dia melainkan lewat tanda. Metafisika bagi Derrida merupakan suatu usaha pengulangan untuk menegaskan kehadiran pada dirinya . Kehadiran manusia itu ada karena ada tanda yang dijelaskan dengan bahasa. Dalam tradisi metafisika, tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir . Tanda hanyalah pengganti sementara hadirnya objek. Dengan tanda, misalnya sebuah nama, dapat menggantikan orang yang tidak hadir ketika namanya disebut.
Kehadiran, bagi Derrida, tidak bersifat independen atau mendahului tulisan dan tuturan. Kehadiran ada dalam jaringan yang menunjuk yang satu kepada yang lain, misalnya saja kata-kata menunjuk kepada kata-kata yang lain, teks menunjuk kepada suatu jaringan teks-teks lain. Maka tanda bagi Derrida adalah seperti itu, suatu kehadiran dalam suatu jaringan tanda menunjuk yang satu kepada yang lain. Di sini, ia secara radikal menolak “logosentrisme ”, yaitu pemikiran tentang Ada sebagai kehadiran. Dalam hal ini, Derrida memutarbalikan pandangan metafisika, yaitu tanda dalam rangka Ada sebagai kehadiran. Kehadiran juga harus dimengerti sebagai sistem tanda.

Tanda sebagai Trace (bekas)
Kemudian dalam memikirkan tanda, ia memikirkan tanda sebagai trace (bekas). Trace itu tidaklah mempunyai substansi dan tidak dapat dimengerti tersendiri, dengan kata lain trace terisolasi dari segala sesuatu yang lain. Trace dimengerti sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Maka, trace itu bukan akibat, melainkan sebab. Akibat dari sebab itu adalah kehadiran. Dengan begitu Ada yang hadir bagi dan pada dirinya disangkal karena kehadiran adalah akibat dari trace. Tanda selalu mendahului kehadiran, tanda selalu sebelum objek, dan objek timbul dalam jaringan atau rajutan tanda. Gelas yang kita pakai tidaklah menunjuk kepada gelas itu sendiri sebagai hadir pada dirinya melainkan gelas yang menunjuk kepada hal-hal yang lain (sebagai trace).
Selanjutnya oleh Derrida, jaringan atau rajutan tanda disebut “teks” atau tenunan . Baginya segala sesuatu yang ada merupakan teks, segala sesuatu selalu saling tenun menenun dan bersambungan. Tak ada sesuatu di luar tenunan (teks). Maka dengan teks Derrida masuk ke dalam intersubjektifitas karena teks selalu menunjuk sesuatu yang lain (berkaitan). Teks mampu membuka peluang bagi orang-orang yang cerdas untuk menafsirkan dan melampaui berbagai kemungkinan segala sesuatu di dunia ini dalam abstraksi mereka masing-masing sesuai dengan konteks zamannya. Hal ini juga berlaku dengan makna, di mana makna tertenun dalam teks. Makna menunjuk pada sesuatu yang lain. Makna tidak hadir bagi dirinya sendiri. Makna tidaklah melebihi teks atau tak lepas dari teks sehingga tak ada makna transendental (signifie transendental). Itu sama artinya dengan hal yang hadir bagi dirinya sendiri, bukan teks.

Gramatologi
Derrida selalu bertindak lain dari yang lain. Ia tidaklah mengikuti pengertian para filsuf pendahulunya mengenai perbedaan tanda dan simbol. Ia menolaknya dan menyatakan bahwa setiap tanda bersifat arbitrer dan tidak menuntut kodrat seperti adanya. Pandangan akan simbol yang mempunyai hubungan natural dengan apa yang ditujukannya serta tanda yang bersifat arbitrer ia kesampingkan.
Tanda baginya adalah tanda yang menunjuk kepada tanda yang lain (gramma). Dengan begitu, ia menyatakan pemikirannya akan gramatologi . Pemikiran akan gramatologi merupakan penolakan atas fonetis, yang memprioritaskan tuturan di atas tulisan. Dengan gramatologi, ia memulai ilmu tentang tekstualitas. Ia memeriksa filsafat bukan dalam hal-hal yang dikatakan dengan “suara lantang”, melainkan dalam teksnya dalam tulisannya yang ternyata tidak selalu sama dengan apa yang dikatakan secara eksplisit dan terang-terangan .
Tanda yang bersifat arbitrer dan tidak menurut kodrat menjadikan Derrida menjunjung tulisan sebagai prioritas. Setiap macam bahasa menurut kodratnya adalah tulisan. Tulisan itu terlihat sebagai eksterior dari pikiran karena tulisan itu berfungsi terus walaupun tanpa kehadiran penulisnya. Sedangkan bahasa lisan hanyalah suatu ekspresi dari pikiran yang hanya bisa didengar namun di dalamnya juga sudah terkandung logos. Dengan begitu bisa diartikan bahwa bahasa lisan dipahami sebagai pemikiran tentang Ada sebagai kehadiran atau pemikiran metafisis karena menurut Derrida ciri khas metafisika adalah penentuan ada sebagai kehadiran dalam segala pengertian dari kata. Maka Dekonstruksi Derrida dalam hal ini adalah usaha untuk mengatasi metafisika atau mengutamakan bahasa tulisan. Dekonstruksi di sini merupakan suatu usaha untuk membawa tulisan sebagai tulisan ke tulisan (to bring writing as writing to writing) . Tulisan akhirnya menjadi otonom dan mampu menjadi trace dari ketidakhadiran. Dan kehadiran dalam bahasa lisan dianggap sebagai suatu ilusi dan tidak asli. Derrida menjadikan kehadiran atau metafisika sebagai suatu trace dan bukan lagi suatu kebenaran yang absolut.

Différance
Pemikiran akan différance merupakan penekanan yang dilakukan Derrida untuk memperjelas kesulitan menamakan yang pertama atau yang pusat. Ini adalah jalan kemungkinan berpikir yang membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis di mana bahasa ditujukan untuk mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada dirinya.
Différance itu beda dengan différence atau différer. Dalam kamus Prancis kata différer mengandung arti berbeda, bertolak belakang, tidak mempunyai kesamaan (kata kerja intransitif) dan menunda, menangguhkan, mengundurkan waktu (kata kerja transitif) . Kata différance mensubstansikan kata kerja différer dan dengan itu meliputi kedua artinya. Différance sendiri adalah syarat kemungkinan untuk timbulnya konsep atau kata. Maka, différance tidak pernah dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap dengan kehadiran.
Adanya pemikiran tentang différance merupakan suatu keinginan untuk tidak berada dalam metafisika. Dengan kata lain, Derrida berusaha untuk melebihi metafisika, melampaui pemikiran yang ditandai kehadiran. Maka différance itu sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam suasana atau kerangka kehadiran atau metafisis.
Penjelasan lebih lanjut mengenai différance, agar menjadi jelas untuk dipahami, dibedakan menjadi empat arti , yaitu:
1. Différance menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Différance adalah proses penundaan yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli.
2. Différance adalah gerak yang mendiferensiasikan karena différance bergerak dalam oposisi terhadap konsep-konsep.
3. Différance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dalam setiap struktur.
4. Différance juga dapat menunjukan berlangsungnya perbedaan antara Ada dan adaan, suatu gerak yang belum selesai.

Différance bagi Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan jatuh pada metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan tekstual. Dengan pemikiran ini ia menolak penjadian différance sebagai suatu makna transendental. Différance juga menganut tekstualitas, menunjuk pada yang lain. Bagi Derrida tak ada identitas terakhir di sini. Maka bisa dikatakan bahwa realitas itu menunjuk pada yang lain dan tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah keradikalan Derrida dalam filsafatnya yang berciri berhingga . Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk suatu dimensi tak berhingga.

III. TANGGAPAN
Dalam setiap tulisannya dan mungkin setiap karyanya Derrida selalu meluncurkan proyek dekonstruksi. Ia sepertinya hampir tidak pernah setuju dengan pandangan berbagai filsuf. Ia terkesan ingin melihatnya dalam suatu pandangan yang baru. Misalkan saja seperti pemikiran Ada sebagai kehadiran, trace, gramatologi, différance merupakan butir-butir pemikirannya untuk mendekonstruksikan pemikiran-pemikiran yang sudah ada. Ada kesan bahwa ia seorang filsuf yang menolak struktur, struktur yang telah dibentuk oleh tradisi rasionalisme barat. Derrida juga terkesan tidak mau menyelesaikan sesuatu dengan sesuatu yang final. Ia menolak adanya pemikiran yang berujung pada akhir yang pasti atau absolut. Ia memberikan wacana yang luas yang terus mengalir dan menjadi bagi manusia tanpa harus terikat dengan narasi yang ada sebelumnya. Ia juga penyumbang pemikiran posmodernisme.
Derrida bisa dikatakan seorang penerus Heidegger yang sama-sama mengkritik habis-habisan rasionalisme barat. Gaya mengkritiknya sering disebut gaya yang tak lazim dalam berfilsafat, seperti menghindari upaya argumentatif dalam membangun proyek filsafat, bermain-main, alusif, literer . Usaha mengkirtiknya ini menghasilkan suatu pemikiran bahwa filsafat bukan lagi suatu reprsentasi kebenaran dunia di luar sana. Bahasa lisan adalah instabil yang tidak memungkinkan lagi lahirnya makna yang berbeda berdasarkan konteks. Baginya, segala sesuatu adalah teks dan kenyataan filosofis adalah kenyataan tekstual.
Kemudian, masa depan bagi Derrida bukanlah sesuatu yang akan sampai pada kesempurnaan atau kepenuhan. Masa depan menurutnya sedang dalam proses, sedang diciptakan, dan sedang ditulis di sini dan sekarang ini karena masa depan juga bersifat tekstual. Masa depan tidak lagi terstruktur dan seorang pemain drama tidak lagi butuh naskah yang menyulitkan dan menyusahkan. Mengapa? Karena dunia Derrida adalah dunia tanpa pusat. Sebuah dunia yang terbuka dan tanpa batas. Sebuah dunia yang akan terus menjadi dan mengalir .



DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K, 2002, Sejarah Filsafat Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius
Coker, John C, 2003, Derrida dalam The World’s Great Philosophers oleh Robert L Arrington (ed), Oxford: Blackwell
Cutrofello, Andrew, 1998, Jaques Derrida dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy oleh Edward Craig, dkk (eds) Vol. II, London: Routledge
Hakim, Abdul, 2001, Diskursus Filosofis Modernitas: Debat Jurgen Habermas dengan Jaques Derrida, dalam majalah Driyarkara, tahun XXV, no. 2
Hardiman, F. Budi, 1993, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius
Johnson, Christopher, 1997. Derrida, New York: Routledge
Mudhofir, Ali, 2001, Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sim, Stuart, 1999, Derrida dan akhir sejarah (terj), Yogyakarta: Jendela
Sim, Stuart, 1998, J, Derrida dalam One Hundered Twentieth Century Philosophers oleh Stuart Brown (ed), London: Routledge

HENRI BERGSON: Antara Intelek dan Intuisi

The object of philosophy would be reached if this intuition could be sustained,… of external points of reference in order not to go astray. (Henri Bergson)

Bergson adalah seorang filsuf ternama di abad 20 yang menuliskan tentang metafisika. Baginya pengetahuan yang mengabsolutkan adalah pengetahuan yang karena intuisi dan pemikiran rasional merupakan suatu pemikiran yang lebih banyak salah atau palsu. Maka dengan pemikiran semacam ini, Bergson mendobrak banyak filsuf sebelumnya sehingga ia menjadi terkenal sampai ia mendapatkan hadiah nobel tahun 1927 untuk karya Literatur. Ia memperdebatkan bahwa intuisi itu lebih dalam dari intelek.
Pemikiran Bergson memang lebih banyak dipengaruhi oleh teori evolusi teutama dari Darwin. Berarti ia lebih banyak berbicara mengenai evolusi biologis dan itu menjadi poin khusus dalam pemikirannya. Bergson dengan pengalaman bersama intuisinya yang juga dipengaruhi oleh ilmu-ilmu alam memberikan penjelasan yang mendasar mengenai bagaimana manusia itu sendiri melihat realitas bagi dirinya. Lalu bagaimanakah posisi Bergson dalam menghadapi Darwin, apakah ia menentang, setuju, atau memilih jalan lain dengan mengembangkan teorinya sendiri.
Banyak orang memandang pemikiran Bergson ini sebagai metafisika yang berisikan misteri-misteri. Walaupun begitu pandangan ini juga memberikan banyak inspirasi bagi beberapa muridnya. Mereka terus memperjelas relasi antara duree dengan elan vital kemudian juga materi dan kehidupan, dan lain sebagainya. Beberapa filsuf kemudian yang dipengaruhi olehnya adalah William James, Scheler, Gabriel Marcel, Whitehead, Maritain, T. de Chardin, Ch. Peguy, dan M. Proust.
Koleksi karya-karyanya dan juga kuliahnya lebih menekankan persoalan hakikat intuisi. Ia mencoba menjelaskan bagaimana intuisi itu dapat dimasukan dalam filsafat. Sebelumnya memang banyak filsuf menolak adanya pemikiram metafisis dalam kehidupan manusia. Intuisi, menurutnya, merupakan metode “berpikir dalam durasi” dan selalu mencerminkan adanya realitas yang terus mengalir. Untuk menjelaskan lebih dalam akan filsafatnya, Bergson membedakan dua dasar pemikirannya yaitu intuisi dan pemikiran konseptual. Intuisi dan intelek dapat dikombinasikan untuk mendapatkan pengetahuan dinamis akan realitas.

DASAR PEMIKIRAN BERGSON
Filsafat Bergson sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin. Ia menyatakan bahwa cara manusia bertindak lebih dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Darwin menekankan bahwa manusia yang sekarang ini merupakan hasil dari proses evolusi di mana manusia memiliki naluri untuk bertahan hidup . Karakter semacam ini merupakan suatu hal yang alami dalam menjalankan proses hidup. Hal ini bisa terjadi karena ada keterbukaan atau kebahagiaan dalam bertahan hidup. Maka dari itu dalam teori Darwin intelek manusia dan proses berpikirnya merupakan konstruksi dari tujuan-tujuan praktis. Tujuan ini digambarkan untuk membantu manusia mengadaptasikan dirinya dalam dunianya dan juga untuk lebih mudah dalam bertingkah laku.
Faktor diri inilah yang kemudian menjadi pandangan dasar Bergson. Dengan melihat pada diri, yang sangat berharga, ia juga megacu pada pikiran, perasaan, persepsi, dan kemauan yang secara alami akan selalu berubah. Perubahan itu ternyata membawa kesenangan baru. Dalam diri itu ternyata tak ada pengulangan masa lalu sehingga diri akan selalu menjadi baru. Manusia akan selalu merasa bebas. Ia akan dengan senang hati menciptakan masa depannya, meskipun masih mendasarkan pada masa lalu. Perubahan ini terjadi bukan karena dipikirkan melainkan sebagai sesuatu yang dialami. Pengalaman menjadi penting dalam suatu proses dan konsep-konsep intelek mulai ditangguhkan.
Bergson memandang bahwa intelek itu sebagai suatu instrumen atau alat yang digunakan untuk membantu atau meningkatkan kehidupan . Dengan begitu tersirat kritiknya yang merupakan pengaruh ilmu alam. Kritik pertamanya ia tuju pada proses dinamis kehidupan yang terlalu mekanis ataupun materialis dan proses ini ditempatkan dalam konsep-konsep fisik. Dengan begitu masa depan manusia sangat dipengaruhi oleh masa lalu sehingga durasi, kebebasan, dan kreativitas tidak diakui di dalam kehidupan ini. Untuk yang kedua ia menolak adanya pandangan akhir yang menjelaskan bahwa dunia itu, seakan-akan telah ditetapkan, sedang menuju pada tujuan-tujuan tertentu di masa depan yang memang tak terhindarkan. Kemudian ia juga tidak mengakui adanya vitalisme yang kurang menjelaskan fakta-fakta evolusi.
Kritik-kritik ini bagi Bergson merupakan suatu tekanan besar kepada intelek yang selalu menggunakan formula-formula praktis. Lebih jelasnya lagi, Bergson menyebut para ilmuwan terlalu menggunakan pemikiran praktisnya dalam memutuskan atau menganalisa sesuatu. Dengan begitu pengetahuan telah memalsukan kealamiahan gerakan dengan merepresentasikan hal matematis ke dalamnya. Bagi Bergson hal ini tidaklah membantu secara penuh. Ia mengatakan bahwa kita membutuhkan suatu suplemen yaitu intuisi.

PANDANGAN AKAN WAKTU
Mengenai waktu, Bergson membedakan dua jenis waktu, yaitu waktu murni dan waktu matematis. Waktu murni merupakan durasi yang sebenarnya sedangkan waktu matematis adalah durasi yang terukur. Sifat waktu murni itu continu dan tak dapat dibagi dan waktu matematis sebaliknya yang dapat dibagi menjadi beberapa unit dan interval. Hubungan antara kedua waktu ini tidak seimbang. Analisa matematis terhadap waktu murni akan membuat kekacauan dalam waktu. Waktu murni tidak bisa diintelektualisasi karena dengan mengalami durasinya itu berarti memalsukannya. Waktu murni hanya bisa dialami secara intuitif bukan intelektual.
Hal ini oleh Bergson disebut sebagai duree atau waktu murni. Untuk lebih jelasnya Bergson kemudian mendeskripsikan kata duree itu sendiri. Duree adalah perubahan terus menerus yang heterogen atau “becoming”. Duree ini tidak dapat di ubah dan selalu menuju pada masa depan. Duree secara terus menerus menciptakan kebaruan dan secara instrinsik sulit untuk diprediksi dan merupakan sumber yang tidak pernah habis dari kebebasan. Bergson juga mengatakan kemudian bahwa intuisilah yang bisa menerangkan realitas hidup dan bukan konsep-konsep intelek .
Eksistensi waktu itu dapat menerangkan mengapa benda-benda itu tidak terjelaskan. Waktu sebagai durasi menjelaskan mengapa benda-benda yang tak terjelaskan kemudian bisa menjadi terjelaskan, dan begitu juga sebaliknya. Jika waktu tidak exsis, secara teoritis, maka segala sesuatu dapat dijelaskan. Oleh karena itu dengan ketidakjelasan akan segala sesuatu, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa hidup dapat berubah dan perubahan yang terjadi menunjukan adanya kebebasan dalam bertindak. Kebebasan ini merupakan pengalaman dari intuisi.

INTUISI dan INTELEK
Dalam realitas sehari-hari, kadang sesuatu yang nisbi atau pasti atau dengan ilmu pengetahuan sepertinya masih kurang pasti dan sering salah maka untuk dapat melihat lebih jelas dan menyeluruh diperlukan suatu suplemen yaitu intuisi. Dalam pengertian ini ada dua argumen yang berbeda yang berfungsi sama-sama untuk mengetahui sesuatu. Dua hal tersebut adalah karakteristik dari intelek yang menggunakan berbagai simbol untuk mengekspresikan temuannya dan menghasilkan suatu pengetahuan yang relatif. Kemudian yang kedua adalah proses dari intuisi di mana kita masuk ke dalam sesuatu dan mengindentifikasikan diri kita dengannya lewat rasa simpati intelek. Hal ini seperti kita mengindentifikasikan diri kita sebagai aktor dalam novel yang kita baca . Tidak ada simbol dan pengetahuan yang didapatkan itu mutlak dan sempurna. Inilah metode yang di sebut metafisika.
Intelek dan intuisi adalah dua jenis pengetahuan yang berbeda. Prinsip-prinsip sains dimasukan dalam kategori intelek dan prinsip-prinsip metafisika merupakan intuisi. Sains dan filsafat dapat disatukan dan akan menghasilkan pengetahuan yang intelektual dan intuitif. Pengetahuan semacam ini dapat menyatukan dua persepsi realitas yang berbeda.
Bergson mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan emosi secara harafiah. Kita harus melihatnya sebagai sesuatu yg bergantung pada kemampuan khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam. Intuisi itu sepertinya suatu tindakan atau rentetan dari tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman. Intuisi ini hanya bisa didapatkan dengan melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan tindakan, yaitu dengan membenamkan diri dengan kesadaran spontan.
Satu hal yang dicapai intuisi dan disebut sebagai objeknya adalah kepribadian diri kita. Dalam hal ini Bergson ingin mengatakan bahwa kenyataan absolut itu yang dikuak oleh intuisi metafisis adalah waktu yang tidak pernah habis. Mengapa? Karena kita dapat menemukan kepribadian kita dengan berjalannya waktu dan proses untuk sampai pada perubahan sepertinya sulit untuk berhenti. Inilah yang dimaksudkan bahwa dengan intuisi kita akan mendapatkan bentuk pengetahuan yang menyatakan realitas itu continu dan tak dapat terbagi. Realitas akan selalu berubah karena dalam hidup manusia akan selalu ada kebebasan akan kreativitas.
Pandangan semacam ini sebenarnya ingin mengkritik pandangan para filsuf terdahulu yang segalanya direfleksikan secara rasional. Dengan melihat hal ini, Bergson berusaha melengkapinya dengan metafisika yang selalu menghadirkan fakta konkrit dari gerakan. Maka dengan metafisika menurut Bergson kenyataan itu berjalan atau mobil sedangkan yang selalu diberikan intelek hanyalah penampilan. Realitas itu disadari secara intuitif dan tidak terpotong-potong. Dengan begitu konsep-konsep intelek tidaklah bisa menjawab realitas secara menyeluruh.

ELAN VITAL
Untuk menjawab proses evolusi yang selalu berlangsung yang dipakai untuk memperbaiki keberadaan hidup, Bergson mengatakan bahwa di situ ada proses elan vital atau daya hidup. Dengan elan vital evolusi dibawa menuju ke tingkat yang lebih tinggi yaitu menuju ke keteraturan. Hal ini merupakan sebab mendasar terciptanya species-species yang bervariasi dan juga merupakan prinsip pokok exsistensi. Adanya variasi species lebih jelasnya karena ada ledakan-ledakan daya hidup karena proses evolusi itu sendiri tidak pernah linier. Maka pada saat itu ada tiga jenis utama garis evolusi yang memungkinkan, yaitu tumbuhan, serangga, dan manusia. Manusia merupakan produk evolusi yang terbaik dan terkuat karena ia memiliki vitalisme.
Proses evolusi merupakan proses dinamis. Maka bisa dikatakan bahwa konsep intelek tidaklah cukup untuk mengatasi proses ini. Intelek yang berada dalam waktu terukur, bersifat statis, atau berada dalam ruang lingkup matematis tidaklah cukup menjawab proses ini, malahan yang akan terjadi adalah konsep yang palsu atau salah. Dengan intuisi elan vital akan terjadi karena dengan begitu dinamisme akan berjalan dan juga proses terus menerus seperti air mengakir menuju ke daerah yang rendah akan terjadi.
Elan Vital diasumsikan Bergson sebagai energi primal yang mulai menjadi hilang atau pudar. Materi, sebaliknya, menjadi didevitalisasi. Maksudnya adalah manusia mulai melepaskan diri dari dunia materi atau dari determinisme materi. Salah satu dari fungsi intelek adalah untuk menghadirkan materi yang terus berubah dalam suatu samaran yang statis. Maka segala sesuatu di sekitar manusia sekarang ini merupakan hasil atau residu dari proses elan vital sebelumnya. Dengan elan vital manusia akan berada pada proses menjadi. Kedinamisan dari waktu murni menjadikan evolusi terus berjalan akhirnya sampai pada tahap seperti sekarang ini. Di sinilah terjadi evolusi kreatif manusia yang menekankan kebebasan dan kedinamisan hidup yang juga merupakan akibat dari waktu murni.

ANTI-INTELEKTUALISME BERGSON
Akhirnya pandangan Bergson ini lebih banyak dipandang sebagai suatu pandangan anti-intelektualisme walaupun Bergson sendiri menyangkalnya dan mengatakan bahwa metafisikanya merupakan suatu pelengkap dan bukan lawan dari rasionalisme. Intelek memang mampu memberikan pengetahuan kepada kita tetapi lebih baik lagi bila pengetahuan itu juga didapatkan dengan intuisi. Bergson mengajak kita untuk lepas dari konsep analisis yang kemungkinan lebih banyak gagalnya dan menyarankan untuk menggunakan intuisi karena dengan intuisilah kita dengan sendirinya akan sukses.
Dengan intuisi ruang sekitar pemikiran Bergson diasumsikan tidak-saintifik. Konsep intuisi, durasi, dan kebebasan diartikan sebagai konsep yang melawan intelektualisme, determinisme, dan mekanisme, walaupun ia sendiri menyangkal pemikiran semacam ini. Ia tetap menganggap adanya pengetahuan konseptual dalam pemikirannya. Ia tidak menolak adanya aspek semacam itu, hanya ia menambahkan bahwa berkembang aspek-aspek spiritual di dalamnya.
Kontribusi Bergson dalam dunia filsafat terletak pada pemahaman kebebasan manusia untuk berkreativitas secara realistik. Pandangannya memang tidak terlalu berpusat pada pikiran atau rasio melainkan ia lebih menekankan pengalaman. Dengan pengalaman manusia akan mengkonstruksi eksperimen-eksperimen saintifik yang realistis.
Intuisi, duree, the self, atau elan vital tidaklah dapat secara akurat dijelaskan begitu saja karena mereka memang tak teruraikan. Mereka hanya bisa didapatkan dengan pengalaman yang membawa kita ke pengetahuan dan menemukan esensinya bagi diri kita sendiri.

TANGGAPAN
Setelah menganalisa pemikiran dari Bergson memang disadari bahwa dia lebih menekankan proses intuitif sebagai proses menemukan realitas. Banyak kritikus menganggapnya sebagai filsuf anti intelektualisme dan ada juga yang menganggap filsafatnya ini merupakan suatu proyeksi dari personal psikologinya yang dibawa ke luar atau ke dunia. Hal seperti ini terjadi karena proses menemukan realitas dianggap subjektif dan objektivitas dicoba direduksi. Pada zaman itu, pemikiran Bergson memang sangat menarik.
Metafisika semacam ini pada zaman dia hidup merupakan suatu ajaran yang baru karena bidang filsafat sebelumnya sudah mereduksi pemikiran metafisika dan beralih pada intelektualisme, idealisme, determinisme, dan materialisme. Dalam filsafat Bergson, manusia mulai dipikirkan lebih dalam dan dimetafisiskan. Intuisi menjadi bagian yang juga penting dan daya hidup atau elan vital dijadikan sebagai pegangan untuk meraih fakta-fakta realistis. Bergson mengajarkan bahwa akan selalu ada kemungkinan untuk mengetahui segala sesuatu secara faktual. Itulah intuisi yang membawa manusia untuk mengetahui sesuatu dalam dirinya.
Untuk membuktikannya, Bergson mengawalinya dengan memikirkan konsep waktu, waktu murni dan waktu terukur. Dengan waktu murni intuisi berperanan dalam membuat kehidupan ini menjadi lebih dinamis dan proses evolusi akan mungkin terjadi. Pandangan akan waktu terukur yang memiliki sifat statis yang juga merupakan kritiknya tidak terlalu mampu menjelaskan proses evolusi. Dengan waktu murni vitalisme terjadi dan mahluk hidup menemukan realitasnya.
Untuk menekuni filsafat Bergson ini kita harus melatih intuisi dengan berbagai pengalaman hidup. Pengalaman haruslah dibangun berdasarkan informasi-informasi yang ditangkap melalui experimen-experimen saintific. Dengan pengalaman itu dapat diketahui bahwa Bergson sama sekali tidak menghilangkan intelektualisme melainkan memperdalamnya. Sekali lagi metafisikannya merupakan pelengkap intelektualisme.






















DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Bergson, Henri
1955. An Introduction to Metaphysics, New York: The Library of Liberal Arts

Bergson, Henri
1911. Creative Evolution, Boston: University Press of America

Honderich, Ted
1955. The Oxford Companion to Philosophy, New York: Oxford University Press

Mudhofir, Ali
2001. Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Georg Lukacs: Menuju Kesadaran Murni Proletar

Sebuah analisa sejarah dan filsafat atas pandangan kesadran kelas otentik oleh Georg Lukacs


Proletariat itu haruslah dibawa pada kesadaran kelas dan kemudian diajak untuk semakin menyadari kesadarannya tersebut hingga kaum proletar sampai pada kesadaran yang sebenarnya atau yang murni. Ini adalah pemikiran Lukacs atas Marxisme yang berkembang pada saat itu. Ia melihat bahwa kaum proletar walaupun mereka secara fisik berjuang namun karena perjuanggannya sejalan dengan logika borjuis, mereka tidak secara nyata atau murni berjuang. Maka perlulah kesadaran proletariat di mana kesadaran itu menjadi milik proletariat itu sendiri dan tidak hanya masuk dalam ruang politik publik saja. Partai revolusioner dijadikan penjamin adanya kesadaran kelas ini. Kesadaran diklaim tidak bisa begitu saja ada pada proletar melainkan harus dikembangkan dan dicerahkan lewat partai.
Pandangan dia atas merupakan pandangan dari Georg Lukacs yang terdapat dalam bukunya, yaitu History and Class Consciousness, yang ditulis pada tahun 1922. Dalam buku ini ia menginginkan suatu pencapaian kembali ke sumber, yaitu kembali ke harkat filosofis teori Karl Marx yang pada zaman itu didangkalkan dengan apa yang dinamakan Marxisme Vulger. Ia juga ingin menangkis kritik dari para Marxis terhadap penghapusan kebebasan-kebebasan demokratik di Uni Soviet, terutama terhadap Rosa Luxemburg.
Dengan demikian, penulis ingin melihat dengan lebih jelas mengenai pemahaman akan buku History and Class Consciousness. Penulis akan menuju pada kesadaran kelas yang dipahami oleh Lukacs yaitu kesadaran yang muncul karena dicerahkan oleh partai. Penulis pada awal paper akan membahas kritik Lukacs terhadap Marxisme Vulger yang menurut Lukacs tidak mencerminkan pemikiran asali Marx. Pada bab berikutnya akan diuraikan mengenai teori dan praxis yang merupakan teori dialektis dalam memahami kenyataan masyarakat sebagai totalitas. Kemudian penulis akan menjelaskan mengenai reifikasi, pemikiran Lukacs akan dimaterikannya hubungan antar manusia dan terakhir akan dijelaskan mengenai partai revolusioner yang merupakan penjamin kaum proletar menuju kesadaran murni. Sebagai akhir, akan dimasukan tanggapan penulis terhadap teori Lukacs atau HCC yang cemerlang ini.

KRITIK TERHADAP MARXISME VULGER
Marxisme Vulger, menurut Lukacs terperangkap dalam perkembangan borjuasi. Marxisme justru tidak menunjukan cirinya sebagai teori revolusioner melainkan, hanya menyesuaikan diri dengan masyarakat yang ada. Marxisme dipandang sebagai teori sosiologis atau ekonomis ilmiah saja. Dalam hal ini, Lukacs menyebutnya sebagai kekhasan kontemplatif di mana realitas hanya diamati dan dituruti, tetapi tidak diubah. Para marxis penganut ini percaya bahwa kepitalisme niscaya akan runtuh dan bahwa di atas keruntuhan tersebut proletariat akan menciptakan masyarakat sosialis.
Marxisme Vulger tidak mengubah sama sekali, hanya mengikuti perkembangan masyarakat saja. Maka pengetahuan ditugaskan untuk merumuskan hukum-hukum objektif yang mana hukum-hukum tersebut juga mengandaikan adanya sebuah hakikat tak berubah dalam realitas. Inilah ciri metafisik Marxisme Vulger. Marxisme seharusnya merupakan sebuah materialisme historis.
Bahwa “Marxisme Vulger” tidak melihat pentingnya gerakan revolusioner berkaitan dengan keyakinannya bahwa keruntuhan kapitalisme dan penciptaan masyarakat sosialis merupakan keniscayaan hukum sejarah. Hal ini tidak benar menurut Lukacs karena perbedaan antara keniscayaan dialektis dan “keniscayaan mekanis-kausal menjadi kabur. Seharusnya keniscayaan akan munculnya masyarakat sosialis digerakkan oleh kesadaran revolusioner proletariat yang ada dalam kapasitas dialektika materialisme historis bukan hanya pada otomatisasi keadaan.
Lukacs memandang etika dari Marxisme Vulger berhenti pada titik utopis. Artinya kesadaran revolusioner proletariat tidak digunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan dialektika materialisme historis. Etika Marxisme Vulger jatuh dalam fatalisme dan voluntarisme . Fatalisme ekonomistik percaya bahwa revolusi akan datang dan kapitalisme akan tumbang apabila kondisi-kondisi ekonomis sudah matang. Di samping itu, kapitalisme karena dinamika kompetisi sendiri, niscaya akan menciptakan kondisi-kondisi itu. Dalam pandangan ini revolusi sosialis menjadi nasib (fatum) tak terelakkan yang tinggal saja ditunggu kedatangannya. Karena itu, kaum ekonomis itu menolak segala agitasi revolusioner di antara kaum buruh di antara kaum buruh sebagai gerakan tanpa arti.
Setelah merumuskan etika Marxisme ke dalam fatalisme ekonomistik jatuh dalam ekstrim kebalikaanya yaitu, voluntarisme. Voluntarisme yang berasal dari etika neoKantianisme mengakibatkan pemahaman revolusi sebagai kehendak baik- moral yang sudah ada dalam diri manusia. Dengan itu revolusi ditempatkan sebagi tujuan etis saja tanpa gerakan perjuangan buruh.

TEORI DAN PRAXIS
Dalam pemahaman Lukacs, Marxisme yang benar adalah teori yang dapat menjalankan peranan historisnya sebagai teori revolusioner. Di sini dialektika materialisme menjadi kunci pengertiannya. Kunci ini menyatakan bahwa dalam Marxisme terjadi adanya keatuan antara teori dan praxis dan kenyataan masyarakat sebagai totalitas. Untuk sampai pada pemahaman seperti ini, Lukacs memakai ajaran Hegel mengenai dialektika, yang oleh Marxisme Vulger pandangan ini terlupakan.
Lukacs mengikuti Hegel menyatakan bahwa pemikiran filosofis merupakan unsur menuju subyek absolut bukan sekedar pemikiran kontemplatif subyek mengenai realitas. Dengan demikian Lukacs menjelaskan teori Marx sebagai unsur dalam praktek revolusioner sosialis sendiri. Sebuah teori menjadi praxis revolusioner apabila mengangkat apa yang menjadi kecenderungan objektif kelas sosial yang paling maju. Dengan kemudian merasuk kembali ke dalam kelas itu, teori itu akan memfokuskan perjuangannya dan dengan demikian menjadi faktor kunci dalam pembentukan kesadaran revolusioner kelas itu .
Teori revolusioner menemukan subyek materialisme historisnya dalam diri proletariat. Proletariat adalah suatu realitas konkrit yang sering dikatakan sebagai kelas yang dipersiapkan oleh sejarah untuk mengatasi kaum borjuis. Namun dalam peranannya proletariat memiliki dua cermin yaitu ia sebagai sistem produksi kapitalis dan sebagai kelas bawah, di mana proletariat langsung merasakan segi-segi negatif masyarakat borjuis. Maka oleh karenanya proletariat memiliki kecenderungan objektif untuk memberontak terhadap masyarakat borjuis .
Menurut Lukacs, proletariat adalah subjek objek identik dengan proses sejarah. Ia adalah subjek pertama dalam sejarah yang mampu membentuk kesadaran sosial objektif yang sesuai. Ini merupakan suatu kesatuan antara pengertian tentang realitas sosial dan realitas sosial itu sendiri. Proletariat selain menjadi objek juga sekaligus menjadi subjek. Di satu pihak ia berpartisipasi dalam rasionalitas perekonomian kapitalis tetapi di lain pihak ia merasakan irasionalitasnya. Ia adalah hasil perkembangan sejarah, perkembangan yang mendukung kapitalisme dan ia juga yang akan meneruskan sejarah yang secara sadar membongkar masyarakat borjuis dan menciptakan masyarakat sosialis. Dengan demikian, kesatuan teori dan praxis tercipta .
Proletariat adalah suatu ekspresi sejarah yang semakin mematang menuju transformasi akhir dan juga suatu kesadaran teoritis dari subyek sejarah. Proletariat itu diistimewakan oleh sejarah, tidak hanya dalam hal meraih posisi objektif untuk memberontak secara radikal yang dikemudian hari mampu meruntuhkan pembagian kelas, eksploitasi, konflik sosial, dan pemisahan individu dari kehidupan sosial, alienasi, kesadaran palsu dan ketergantungan manusiawi dalam kekuatan historis intersubyektif. Dalam kecenderungan ini semua kenyataan total dihadirkan dalam pergerakan revolusioner. Kesadaran diri proletariat berkaitan dengan kesadaran sejarah sebagai keseluruhan dalam proses yang semakin menjadikannya matang . Dalam hal ini teori dan praxis bukanlah dua hal yang berbeda melainkan satu dan merupakan fenomena yang sama.

REIFIKASI
Dalam menuju pematangan kesadaran sejarah proletariat diperlukan kesadaran akan realitas masyarakat. Menurut Lukacs, dengan berpatok pada pemahaman fetisisme Marx, telah terjadi reifikasi dalam realitas masyarakat. Istilah reifikasi menunjuk pada apa yang sebenarnya merupakan hubungan antar-manusia bebas kelihatan seperti hubungan antar-benda, jadi sebagai suatu kenyataan objektif. Kekhasan masyarakat borjuis adalah bahwa semua hubungan antar-manusia dikuasai oleh hukum pasar. Dalam kapitalisme segala sesuatu, termasuk hubungan antar-manusia, dimengerti sebagai bentuk komoditi, barang untuk diperjual-belikan. Komoditi dan seluruh proses jual-beli ditentukan oleh hukum-hukum objektif pasar yang menurut paham kapitalisme bersifat ‘alami’ dan ‘rasional’ dan karena itu ‘abadi’. Begitu pula masyarakat borjuis memandang segala macam hubungan antar-manusia, jadi struktur-struktur ekonomis, sosial, politis dan budaya masyarakat kapitalis sebagai pola kehidupan bersama manusia yang paling alami dan rasional. Padahal kekuasaan menyeluruh bentuk komoditi itu merupakan hasil sebuah proses sejarah hasil manusia.
Kegiatan manusia dalam berkerja bukan lagi milik pribadi yang ada sesuai minatnya. Manusia dengan begitu menjadi teralienasi dan proses tidak secara langsung mereka miliki dan kuasai. Mereka sepertinya menjadi tersebar dalam spesifikasi yang diberikan dalam perkerjaan. Misalkan saja seorang yang berkerja di pabrik rokok. Ada orang yang hanya fokus berkerja melinting rokok tersebut. Ia tidak tahu keseluruhan proses dan hanya dengan mengikuti saja apa yang diberikan oleh pabrik. Ia hanya mengambil bagian dalam sistem produksi saja. Keberadaannya hanya ada dalam partikularitas pabrik. Ini oleh Lukacs telah menyingkirkan kedalaman diri manusia di mana manusia itu juga memiliki minat, inisiatif, kreatifitas, dan kepribadian . Oleh masyarakat kapitalis, hal seperti ini tidak menjadi bagian yang dipikirkan melainkan hal yang mengganggu sistem produksi.
Marx memahami bahwa komoditi merupakan fetis yang dianggap memiliki kekuatan mutlak atas semua proses kehidupan masyarakat sedangkan Lukacs melihatnya lebih jauh bahwa hubungan antar manusia juga diberhalakan dalam bentuk komoditi atau dengan kata lain direifikasi. Dengan demikian hubungan antar-manusia dipahami sebagai hukum pertumbuhan komoditi. Hukum tersebut dianggap alami, objektif, dan rasional dalam masyarakat kapitalis. Dengan demikian hubungan antar-manusia tidak lagi ditentukan oleh cita-cita pribadi, persahabatan, perhatian intelektual, kesamaan minat, atau oleh minat untuk berkomunikasi, melainkan oleh hukum pasar.

PARTAI REVOLUSIONER
Dialektika materilaisme historis yang ada dalam Marxisme sebagaimana dipahami oleh Lukacs telah menyatukan teori dan praxis. Subyek dari penyatuan tersebut terdapat dalam diri proletariat. Subyek dalam bentuk kesadaran revolusioner dalam realitas masyarakat harus dibangkitkan potensinya ke dalam bentuk aktual. Pembangkitan tersebut membutuhkan organisasi kesadaran proletariat. Di sini Lukacs mengikuti apa yang dikatakan Lenin mengenai partai revolusioner. Dalam pengertian Lukacs, partai adalah jauh lebih daripada sekadar bentuk organisasi proletariat. Partai adalah penjaga dan penjamin kesadaran proletariat. Proletariat selalu dapat saja berada dalam ketidaksadaran sehari-hari terhadap potensi revolusionernya. Dapat saja setiap hari, proletariat terperosok dalam kepentingan tetek-bengek perjuangan ekonomis sehari-hari seperti kenaikan upah atau perpendekan hari kerja. Agar proletariat tidak melupakan tujuan yang sebenarnya, yaitu revolusi dan penciptaan masyarakat sosialis, diperlukan sebuah partai revolusioner. Di sini partai revolusioner menjadi wadah objektif penampung kesadaran revolusioner proletariat .
Partai revolusioner merupakan sarana bagi proletar untuk tidak jatuh pada pikiran-pikiran borjuasi. Kaum proletar harus disadarkan oleh partai revolusioner yang berkerja lewat fungsi moral. Mereka tidak begitu saja bisa masuk pada kemenangan kelas dan muncul masyarakat sosialis. Mereka harus diajak untuk berpikir dan menambah pengetahuan menegenai kemenangan proletariat dan itu hanya bisa dengan kesadaran murni proletar. Jika kesadaran diyakinkan akan berkembang begitu saja maka bisa dikatakan ini adalah hal yang utopis. Inilah yang dikritik Lukacs terhadap pandangan Rosa Luxemburg di mana ia berpandangan bahwa partai revolusioner hanya bertugas mengangkat ke dalam kesadaran penuh apa yang secara tidak sadar sudah ada dalam kesadaran proletar. Kesadaran tidak bisa begitu saja tumbuh melainkan harus dijamin oleh partai itu sendiri.
Karena itu, Lukacs menyebut organisasi proletariat dalam partai sebagai bentuk pengantaraan antara teori dan praxis. Partai memebentuk dan memiliki “disiplin revolusioner” karena “komitmen anggota-anggotanya, hubungan antara partai dan massa, dan benarnya pimpinan politiknya”.

TANGGAPAN
Lukacs merupakan orang yang mengajak untuk kembali pada dialektika hegel di mana itu menjadi bagain penting yang dianut oleh Marx. Ia menolak adanya determinisme sosiologis dan ekonomis yang berkembang lewat Marxisme Vulger. Ia lebih menekankan pada kesadaran kelas di mana dengan kesadaran kelas ini kaum proletar akan lebih kuat dalam menuju kesadaran kelas dan menuju masyarakat sosialis. Kaum proletar harus menjadi subjek sejarah dan itu dijalankan dengan kesadaran yang terbentuk. Mereka tidak lagi bisa teralienasi. Namun kesadaran itu tidak begitu saja terbentuk melainkan harus dengan jaminan dari partai revolusioner. Reifikasi harus dihilangkan dengan kesadaran yang tidak muncul begitu saja. Pengetahuan dan ideologi harus dikuasai agar kesadaran kelas bisa dimungkinkan.
Walaupun pada akhirnya Lukacs menolak ini namun pemikiran seperti ini merupakan pemikiran yang cemerlang pada zamanya. Dalam karyanya ia berani dengan tegas melawan marxisme yang tidak berkembang pada jalannya. Dengan teorinya ini ia memberikan pemikiran lebih untuk mewujudkan marxisme total sebagai yang benar dan juga bagaimana kebenaran itu dibuktikan. Pandangan ini, dianggap, seperti suatu koleksi pernyataan-pernyataan dogmatis dan bukan suatu argument-argumen. Namun, pada kenyataannya ia tetap merupakan seorang filsuf yang hebat yang pada waktu itu mampu membuat kejutan terhadap nalar yang berkembang.



DAFTAR PUSTAKA

Craig, E. 1998. Routledge Encyclopedia of Philosophy. London: Routledge.
Kolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxism Vol. III. Oxford: Clarendon Press.
Magnis- Suseno, Franz. 2003. Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. Jakarta: Gramedia.

Who has the last word?

Sebuah Debat antara Natural Law dan Common Law
oleh Windar Santoso


Natural Law dan Common Law merupakan dua konsep hukum yang kerap diperjuangkan oleh beberapa filsuf. Pendukung Natural Law biasanya adalah orang-orang yang royal dengan kerajaan dan pendukung Common Law adalah rakyat di mana dengan hukum tersebut rakyat bisa berpartisipasi menuju kesejahteraan bersama . Thomas Aquinas dengan konsep hukumnya mengajak manusia untuk setia pada Gereja dan negara. Hal ini diterapkan karena adanya konsep Lex Euterna dan Lex Naturalis yang harus diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari dan akibatnya raja menjadi penentu utama dalam sistem hukum ini di mana adanya raja karena ia dipercaya atau diturunkan oleh Tuhan lewat berbagai rahmat. Dengan konsep ini monarki konstitusional berkembang, namun inilah yang menjadi perdebatan kemudian di zaman pencerahan. Raja tidaklah lagi memegang tumpuk kekuasaan secara dominan. Rakyat dalam perkembangan hukum suatu negara telah diikutsertakan lewat suatu parlemen. Tujuannya adalah untuk kesejahteraan bersama maka semua rakyat harus ambil bagian dan tidak hanya raja saja. Untuk mengawali perdebatan ini, kita mulai dengan pandangan dari Sir Thomas Smith.

Sir Thomas Smith merupakan salah satu penyokong konstitusi Inggris. Ia menetapkan bentuk konstitsionalisme dengan bukunya De republica Anglorum. Lewat buku tersebut ia mengintepretasikan sistem politik dan pemerintahan di Inggris semasa Elisabeth. Interpretasi ini merupakan pengembangan dari pemahaman Sir John Fortescue di mana menurutnya rakyat harus ikut berpartisipasi dalam praktek-praktek politik dan hukum. Sir John Fortescue mengawali pemahamannya dengan membandingkan hukum di Inggris dan Prancis. Rakyat, menurutnya, harus diberikan wadah yaitu dengan parlemen dan sistem ini merupakan perlawanan sistem di Prancis yang monarki absolut. Dengan konsep yang lebih bebas ini, smith merepresentasikan semua orang dalam satu parlemen. Ia mengembangkan doktrin yang telah melampaui sistem “raja dalam parlemen ”. Level seorang pangeran sampai ke orang-orang kalangan bawah adalah sama. Maka persetujuan atau keputusan akhir dalam suatu sidang merupakan persetujuan atau keputusan bersama semua orang. Selain itu negara juga sudah terlepas dari Gereja yang menjadikan negara Inggris sendiri sebagai pencipta dan penjamin hukum dan undang-undang negara yang tidak ada kaitannya dengan Gereja. Raja di sini merupakan pemegang kekuasaan negara dan Gereja. Namun dalam sistem pemerintahan ini terdapat sketsa kekuasaan yang tidak boleh disalahartikan. Di sini ada pembagian yang jelas yaitu kekuasaan tertinggi dalam legislasi, keuangan, dan hukum bisa dikuasai oleh raja, tuan-tuan atau umum sedangkan persoalan penunjukan pegawai pemerintahan dan tentang peperangan dan perdamaian hanya dimiliki oleh pemegang tumpuk pemerintahan (the crown). Raja dan juga the crown memiliki kedua kekuasaan ini.

Bagi Richard Hooker rasionalisasi yang dibuat Smith haruslah dikatikan dengan Natural Law. Hukum yang dikembangkannya merupakan suatu kombinasi antara konsep-konsep hukum skolastik dengan konsep-konsep tradisional dari Common Law. Hooker memang menyetujui Thomas Aquinas namun ia mengurangi segi kekuasaan Paus di dalamnya terhadap negara Inggris. Sebagai penggantinya raja dijadikan kepala pemerintahan dan juga Gereja. Partisipasi semua orang dalam parlemen masih dilanjutkan seperti Smith. Hal ini berasal dari pandangannya yang menjadikan hukum sebagai sistem koheren dari dunia sebagai keseluruhan, yaitu hukum abadi, hukum natural, hukum para malaikat, dan hukum manusia. Hukum abadi dan Natural Law itu kekal dan tidak dapat diubah sedangkan hukum para malaikat dan hukum manusia dapat diubah bahkan dilanggar. Alsannya karena manusia milik dari kerajaan Tuhan dan binatang maka dalam setiap tindakan-tindakan manusia memang sering melanggar namun secara general tujuan tindakannya adalah menuju pada Tuhan atau pada yang baik. Dalam hukum manusia di mana itu merupakan hukum rasional atau positif menjelaskan bahwa hukum itu sebagai aturan tegas akan proses tindakan-tindakan menuju kebaikan. Hukum rasional lahir dari banyak alasan atau sebab dan tidak langsung ada begitu saja. Maka menurut Hooker hukum rasional dapat dimengerti tanpa adanya bantuan dari pewahyuan. Hukum manusia berisi hukum-hukum di mana semua orang dapat memahaminya secara sederhana dan kemudian dapat membimbingnya ke dalam tindakan-tindakan. Hukum manusia yang berasal dari alam memberikan hukum yang cocok untuk dihidupi. Dengan teori ini Hooker menuju pada komunitas hukum yang hidup tidak berdasarkan kontrak melainkan hakikat persahabatan dan hidup bersama. Oleh Hooker ini disebut sebagai hukum kesejahteraan. Untuk sampai ketujuan ini Hooker tetap menyetujui adanya partisipasi dari parlemen sebagai representasi dari semua rakyat. Sekali lagi Hooker mengharapkan bahwa keputusan ada di tangan komunitas, yaitu the crown dan rakyat.

Hooker dan Sir Thomas Smith memformulasikan implikasi filsafat dan hukum dalam perkembangan politik Inggris. Hukum dilihat sebagai dasar dari susunan konstitusional dan mampu menopang persetujuan umum. Dan dari situ semua hukum menjadi berkualitas. Namun persoalan masih saja muncul yaitu keputusan terakhir ada di mana, di raja atau parlemen. Dalam perkembangan selanjutnya debat ini semakin memanas terutama dengan bahasan dari James I, Edward Coke, dan Francis Bacon. Permasalahan yang muncul dikarenakan parlemen dijadikan institusi hukum positif di mana raja juga ada di dalamnya. Perdebatan para filsuf dalam menentukan who has the last word? dilatarbelakangi oleh pemikiran Natural Law dan Common Law. Bacon dan James I merupakan para penganut Natural Law dan Edward Coke bernaung dalam Common Law .

Edward Coke menekankan fungsi hukum suatu parlemen. Sumber segala hukum adalah parlemen namum itu memiliki batasan yang digariskan oleh Common Law . Coke percaya bahwa dalam banyak kasus, Common Law mengontrol tindakan-tindakan parlemen dan bahkan mengatur mereka agar tidak melakukan hal yang bukan-bukan. Parlemen tidak bisa berlawanan dengan Common Law. Namun praktis hukum yang berdasar pada Common Law ini hanya sah bila telah diputuskan dalam suatu pengadilan. Coke merasa bahwa tidaklah perlu peranan Natural Law karena interpretasi hukum untuk mengatur negara dalam kehidupan sehari-hari telah dicukupi oleh Common Law. Pendapat ini sangatlah beda dengan James I dan Francis Bacon yang mengikutsertakan Natural Law dalam hukum. Francis Bacon sendiri sepertinya setuju dengan apa yang dikumandangkan Coke. Ia menerima adanya Common Law yang berada di antara hukum lainnya, misalnya undang-undang. Namun ia menyatakan bahwa ada sesuatu yang yang berada di atas Common Law atau ada alasan atau sebab lain yang menjadi dasar. Francis Bacon menyatakan bahwa itu adalah Natural Law. Dari sinilah kekuasaan tertinggi didapatkan—kekuasaan merupakan bukti kepercayaan Tuhan kepada sang “Raja” . Bacon berharap bahwa dengan kekuasan ini badan pemerintahan, termasuk parlemen, mampu mengurus hukum untuk mengatur negara.

Perdebatan antara Coke dan James I berkisar seputar kekuasaan tertinggi dan hak prerogatif. James I sangat mendukung adanya hak prerogatif. Hak prerogatif ini dimiliki oleh para pemegang pemerintahan di mana dengan hak tersebut mereka bisa bertindak tanpa ada pertintah atau tuntutan dari hukum yang berlaku, dalam arti lain mereka bisa melawan hukum . Prerogatiof merupakan kekuatan khusus dan istimewa dari raja karena raja itu sendiri memiliki hak di atas segala orang dan diatas Common Law. Raja mendapatkan ini hanyalah karena suatu rahmat dari yang ilahi, yaitu instrinsik prerogatif. Raja dapat membantah semua hukum-hukum positif hanya dengan hak prerogatif ini. Coke mati-matian menolak hak ini. Hukum haruslah memiliki kekuatan dan siapa pun harus tunduk pada hukum ini. Rakyat harus dipartisipasikan dan didaulatkan agar kesejahteraan bersama dapat tercapai dan kesamaan di hadapan hukum dapat diwujudkan. Bila hak prerogatif disahkan maka negara akan kembali pada doktrin-doktrin abad pertengahan.

Perdebatan antara kelima tokoh ini selalu berujung pada kedaulatan rakyat di mana raja tidak lagi menjadi figur yang dominan. Tujuan adalah untuk kesejahteraan rakyat dan untuk mewujudkannya harus ada kesamaan dalam hukum. Dengan begitu rakyat dapat masuk ke parlemen dan menjadi sama dengan seorang raja. Keputusan yang terakhir adalah keputusan bersama namun bagaimana bila ada masalah yang sulit dipecahkan dan harus dibuat keputusan, siapakah yang menentukan keputusan akhir, raja atau parlemen? Berlanjutlah perdebatan antara Natural Law dan Common Law dalam dunia modern ini. Walaupun ada perdebatan siapakah pemegang keputusan terakhir, apakah itu raja atau parlemen, namun secara real kekuasaan masih menjadi sesuatu yang tidak bisa disangkal. Dalam konteks ini kekuasaan elite atau estate masih menjadi yang kuat.


DAFTAR PUSTAKA
Copleston, Frederick. A History of Philosophy Vol. IV, London: Burns & Oats, 1959
Friedrich, Carl Joachim. The Philosophical of Law in Historical Prespective, Chicago: The University of chicago, 1963
Schmandt, Henry J. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Strukturalisme dan Analisis Semiotik terhadap Budaya

GERAKAN STRUKTURALIS muncul seperti gelombang pasang laut di tahun 50 an, dan secara radikal telah mengubah jalan pikir orang terhadap budaya pada saat itu. Meski demikian, pada kenyataannya, para strukturalis telah meletakkan suatu landasan berpikir yang akan berpengaruh semenjak pertengahan pertama abad 20.

KARAKTERISTIK STRUKTURALISME

1. Kedalaman menjelaskan permukaan. Kepercayaan sentral dari strukturalisme adalah bahwa kehidupan sosial adalah sesuatu yang superficial. Di baliknya, terdapat mekanisme-mekanisme tersembunyi yang senantiasa diwariskan.

2. Kedalaman itu terstruktur. Terdapat struktur-struktur yang terdiri dari berbagai elemen yang mengkombinasi, menjadi suatu lapisan kehidupan sosial.

3. Analis bersifat obyektif. Para strukturalis cenderung untuk menilai dirinya sendiri sebagai terpisah.

4. Budaya analog dengan bahasa. Strukturalisme dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh penyelidikan-penyelidikan dalam ranah linguistik. Oleh karena itu, mereka meyakini budaya juga sebagai sistem tanda, sebagaimana bahasa dimengerti dari relasi antara bunyi dan kata-kata. Keduanya sama-sama membawa pesan.

5. Mengatasi humanisme. Pendekatan struktural cenderung untuk meminimalisir peran manusia sebagai subyek dan menekankan peran yang determinatif dari sistem budaya. Selain itu, pemikiran Strauss menandai karakteristik pendirian pendekatan struktural yang bersifat decentering the subject, yaitu memindahkan ‘manusia yang sadar’ dari pusat analisis (berbeda jauh dengan rival semasanya, yaitu Sartre).

FERDINAND de SAUSSURE

Ferdinand adalah seorang linguis kebangsaan Prancis, yang baru setelah kematiannya dipandang sebagai seorang pemikir garis depan di abad 21. Kuliah-kuliahnya dibukukan dalam Course in General Linguistic. Dalam buku tersebut, dia meletakkan fondasi strukturalisme baik untuk mendekati bahasa, maupun mendekati budaya.

1. Gagasan utama Saussure adalah : bahasa terbentuk dari imej akustik, berupa kata-kata dan suara, yang berkait dengan konsep-konsep, berupa benda atau ide. Dan kaitan antara imej dengan konsep terbentuk dari konvensi belaka.

2. Pemaknaan suatu benda-kata bersifat : (1) sewenang-wenang, karena tidak ada orang yang tahu mengapa kata ‘pohon’ harus menunjuk pada benda ‘pohon’ dan bukan yang lain, (2) mengkontraskan, karena kita mendapatkan makna dengan memilahnya di antara obyek-obyek yang berbeda. Kata-kata ada dalam jejaring yang dibentuk oleh struktur berbagai perbedaan (structure of differences).

3. Saussure memilih metode analisis sinkronik, yaitu memetakan bahasa dalam masa kini (berlawanan dengan diakronik, melihat bahasa dalam perubahan sepanjang sejarah). Oleh karena itu, dalam metode sinkronik, Saussure memilah bahasa menjadi dua, yaitu parole (tuturan) dan langue (bahasa). Parole adalah penggunaan bahasa sehari-hari, yang berbeda-beda dan partikular sesuai konteksnya. Langue adalah struktur sistem tanda yang mendasari parole. Perhatian analis hendaknya tertuju lebih pada langue.

4. Bahasa itu otonom, dalam dirinya sendiri (sui generis) terdapat sistem-sistem yang menghasilkan pemaknaannya dan telah beroperasi seturut sistem pembedaan. Pokok ini dapat diaplikasikan ke dalam sistem-sistem tanda yang lain, yaitu budaya.

5. Semiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tanda-tanda dan hukum-hukum yang mengaturnya, termasuk otonomi budaya dimana di dalamnya terdapat kondisi kodrati dari tanda.


CLAUDE LEVI-STRAUSS

Claude Levi-Strauss adalah seorang strukturalis yang mengkhususkan dalam teori budaya. Pemikirannya menurut pengakuannya dalam Tristes Tropiques merupakan sebuah hasil perkembangan dari pengaruh Marx, Freud dan Geologi. Ketiga cabang itu menurutnya sepaham dengan aliran strukturalisme.

Marx mengembangkan pemikiran yang mereduksi kompleksitas kehidupan politik dan ekonomi masyarakat ke dalam hubungan sosial antara tiga struktur, yaitu kepemilikan alat produksi, modal, dan struktur & kepentingan kelas. Freud menerangkan fenomena pasien jiwa, dan menemukan mekanisme berupa hubungan antara proses kejiwaan, yaitu transference, denial, wish fulfilment, dan represi dengan dimensi jiwa, yaitu id, ego dan superego. Sementara itu, Geologi merupakan studi lanskap, yang menemukan pola-pola dan kausalitas dalam alam sehingga sangat berguna untuk memprediksi peristiwa-peristiwa tertentu.

Selain 3 hal itu, Levi mengakui pengaruh yang dalam dari Saussure, dan mengajukan sikap penelitian untuk lebih mendalami struktur mitologi sehingga menemukan logika tertentu dalam suatu sistem budaya. Di samping Saussure, Levi juga merupakan pendukung Durkheim, dan sama-sama meyakini bahwa masyarakat merupakan lapangan dari yang abstrak, mental dan ideal. Ada kesamaan antara ritual (Durkheim) dan mitos (Levi) sebagai ketidaksadaran kolektif.

1. Analisis Struktural terhadap Pertalian Keluarga (Kinship)

Analisis ini merupakan karya besar Levi-Strauss yang terdapat dalam The Elementary Structures of Kinship (1969). Di dalam buku ini, ia memberikan argumen struktualisnya, bahwa di balik segala budaya yang tampaknya carut marut (chaos) karena masing-masing unik terdapat di dalamnya suatu tatanan (deeper order). Dan, salah satu sistem budaya itu adalah sistem pertalian keluarga (kinship), yang menentukan secara sewenang-wenang mana yang baik dan mana yang buruk (descent clan, descent marriage, incest taboo). Analisisnya melihat bahwa kinship itu seperti bahasa yang melibatkan suatu pertukaran (dalam hal ini, wanita disamakan dengan kata-kata) dan merupakan suatu bentuk komunikasi dan dipandang sebagai suatu sarana untuk sosialitas.

2. Analisis Struktural terhadap Mitos dan Klasifikasi

Levi-Strauss memahami mitologi sebagai bahasa. Seperti bahasa yang terdiri dari elemen-elemen seperti fonem yang terangkai dan terbangun menjadi makna, begitu pula mitologi dibangun oleh mytheme-mytheme. Mytheme itu membentuk makna dan pola yang semakin kompleks. Dalam Oedipus, mytheme itu antara lain: Oedipus membunuh bapaknya dan Oedipus menikahi ibunya. Dua mytheme itu membawa makna sendiri-sendiri, yang pertama bermakna pelecehan terhadap hubungan darah dan yang kedua bermakna pengagungan hubungan darah.

Dua mytheme yang saling bertolak belakang dalam mitologi Oedipus itu disebutnya sebagai oposisi biner, yang merupakan bagian fundamental dari setiap mitos, dan harus diberi perhatian penting, karena menunjukkan suatu dilema yang terus digeluti oleh buday atau masyarakat tersebut.

Dalam karyanya The Savage Mind, Levi mencoba meredefinisi makna ‘primitif’. Menurut dia ‘primitif’ juga memiliki keteraturan, seperti pemikiran modern. Antara science dan magic, terdapat kesamaan yaitu sama-sama model cara kerja mental dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, menurut Levi, primitive thought digerakkan oleh science of the concrete, yaitu suatu sistem pengetahuan dengan membedakan dan mengklasifikasikan benda-benda berdasarkan penampakan luarnya dan nilai gunanya. Relasi berupa pembedaan itu sangat sentral dalam masyarakat primitif. Sementara itu, relasi itulah yang membedakannya dengan pemikiran sains, karena menurut Levi, pemikiran sains berusaha untuk mencari relasi dan sebab-akibat yang terdalam, yang melampaui penampakan luar dan nilai guna.
Levi menamai primitive thought sebagai bricolage. Orang-orang primitif itu seperti bricoleur, yang bekerja mengandalkan ketrampilan tangan dan lingkungan di sekitar. Orang-orang primitif menggunakan klasifikasi, mitologi dan ritual yang didapatkan dari lingkungan sekitarnya, baik yang alamiah maupun sosial, dengan mengenali penampakan luar dan saling membedakannya, dan lalu menjadikannya sebagai sistem-sistem tanda dan melibatkannya dalam kosmologi mereka. Misalnya, totem binatang. Totem binatang adalah suatu tanda sewenang-wenang yang digunakan oleh orang-orang itu untuk sarana berpikir (bonnes a penser), untuk mengkonstruksi tanda-tanda yang lain dan sistem yang lain.
Sistem ini disebut sebagai system of transformation, yaitu mengambil sesuatu dari alam (nature) dan menerjemahkannya ke dalam sistem tanda (culture), di mana semua sistem simbol dibangun dan dikombinasikan ke dalam pola yang baru, dengan proses analogi dan pembandingan.

Evaluasi terhadap Levi-Strauss

1. Absennya gagasan tentang power dalam karya-karya analisis budayanya, padahal dalam kasus mitologi, selayaknya dipertanyakan untuk kepentingan siapakah mitologi itu sehingga dapat terinstitusikan.
2. Levi melihat budaya sebagai abstraksi, yang dapat eksis tanpa intervensi manusia. Dia seolah menolak agen, dan menyatakan bahwa budaya beroperasi secara deterministik.
3. Levi kurang memperhatikan plot
4. Analisis Levi tidak sampai pada analisis politis, dan bahkan cenderung seksis
5. Levi sendiri sering salah dalam memahami konsep-konsep linguistik


ROLAND BARTHES

Dalam Elements or Semiology, Barthes berargumen tentang pertemuan antara linguistik dan pertanyaan tentang kebudayaan dalam menginformasikan pertanyaan-pertanyaan semiotik. Secara rinci pertemuannya adalah sebagai berikut:

1. Langue dan parole. Suatu perbedaan antara sistem abstrak tanda-tanda (langue) dan cara penggunaannya (parole). Dan ini, oleh Barthes, bisa digunakan di semua konteks semiotik dan tidak hanya pada linguistik. Contohnya, dalam sistem makanan, ada langue mengenai yang tabu (sesuatu yang dapat dan tidak dapat dimakan), ritus makan (table manner), dan ada parole-nya menegenai penemuan menu atau yang sudah turun menurun.
2. Signifier dan signified. Perbedaan antara sesuatu atau konsep yang direpresentasikan (signified) dan sesuatu yang memproses representasi (signifier).
3. Syntagm dan Sistem. Suatu perbedaan antara tanda yang merupakan kaitan dari suatu kejadian (syntagm) dan tanda yang kemudian dapat disubsitusikan (sistem).
4. Denotasi and konotasi. Suatu perbedaan antara tanda yang secara literer diartikan dan yang merupakan metalanguage.

Pemahaman ini membawa ke dalam Mythologies, di mana terdapat kumpulan artikel yang ditulis oleh Barthes tentang kehidupan dan kebudayaan sehari-hari orang prancis. Lewat ilustrasi ini Barthes menjelaskan semiotik-nya. Menurutnya, tanda dalam kebudayaan tidak pernah innocent, melainkan tanda tersebut tertangkap oleh jaringan yang komplek dari reproduksi ideologi. Di sini ia berusaha mengintepretasikan berbagai fenomena dan kemudian mengkaitkannya dengan suatu tema, yaitu karakter dari pemikiran Maxisme, seperti otentisitas, ideologi, dan fetisisme. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:

1. Ada model fetisisme terhadap mobil-mobil keren (new citroen) di mana orang-orang lebih memuja barang ini/komoditas ini.

2. Ada pernyataan ideologis yang mendukung kolonialisme yaitu pada suatu majalah ada seorang kulit hitam yang dengan bangga hormat pada bendera prancis.

3. Ada otentisitas kualitas ketika membedakan wrestling yang merupakan tontonan para perkerja dan tinju yang merupakan tontonan para borjuis.

Dalam essay yang berjudul “Myth Today,” Barthes berusaha mengkombinasikan studi abstrak dari semiotik (bagaimana tanda berkerja) dengan sesuatu yang lebih sosiologis dan secara konkrit dalam bentuk dan fungsi. Dari sini kita akan dihubungkan dengan skema mitis yang akan menjelaskan bagaimana yang mitis ini berhubungan dengan kepentingan dari masyarakat tertentu, misalnya kapitalis. Mitos merupakan milik dan alat borjuis dalam membenarkan dan menetralkan aturan-aturan sosial yang ada.

1. Suntikan (inoculation), merupakan suatu ide bahwa dengan mengetahui beberapa kejahatan kelas dan ketuidaksamaannya yang ada dalam masyarakat, seseorang dapat menghadang dengan suatu kritik terhadap aturan sosial.
2. Privasi sejarah meliputi menghadirkan objek-objek namun menanggalkannya dari semua jejak yang berasal dari sumber-sumber sosialnya. Contoh, suatu buku panduan untuk para turis membawa mereka kepada tempat-tempat wisata namun di sana mereka tidak diperkenalkan dengan kondisi dan proses sosial tempat wisata itu terbentuk.
3. Indentifikasi mengacu pada suatu proses yang melaluinya kita mengindentifikasi diri dengan yang lainnya dan melihatnya secara benar-benar berbeda. Contoh; jika kita mengidentifikasikan diri dengan tentara kulit hitam yang menghormati bendera kita maka akan ada kebanggan lebih, dalam hal status.
4. Tautologi meliputi mendefinisikan sesuatu tanpa menambah kejelasan. Barthes melihat ini sebagai cara untuk tidak lepas dari pertanyaan-pertanyan sulit dan sebagai penolakan pada bahasa.
5. Neither-normism meliputi penyeimbangan dua alternatif dan kemudian penolakan atas keduanya (diandaikan seturut status quo)
6. Kuantitas kualitas memperhatikan usaha-usaha untuk secara sistematis mengukur dan mengevaluasi realitas estetis atau untuk membuatnya dapat diprediksi dan disetujui dalam determinisme pasar.
7. Pernyataan fakta-fakta berurusan dengan penyediaan maxim dunia yang diasimilasikan dari common sense, sehingga mencegah pemikiran kritis.

Kunci dari Mythologies adalah pengunaan dari pembedaan antara denotasi dan konotasi. Denotasi mengacu pada pengartian literer suatu image. Konotasi mengacu pada pengartian lebih sesuatu yang berada di atas (mitologi). Contoh; cover suatu majalah yang menunjukan orang kulit hitam dengan pakaian tentara dan sedang menghormati benda yang berwarna merah, putih, dan biru dapat diartikan secara denotasi bahwa ini adalah gambar tentara kolonial di prancis yang sedang menghormati bendera. Namun, cover ini juga memiliki arti lebih atau konotasi yaitu, menurut Barthes, Prancis adalah kerajaan besar dan semua negara bawahanya tanpa memandang diskriminasi warna kulit, secara setia melayani negara dibawah benderanya. Secara denotasi ditunjukan bahwa bangsa kulit hitam dengan senang dan bangga melayani penjajah atau oppresor. Dari sini Barthes ingin menunjukan bahwa konotasi mitologis berkerja melalui pertimbangan common sense. Dia berpendapat bahwa kita secara otomatis dan instant membaca tanda-tanda masih secara partikular dan belum menerimanya secara menyelurus dalam proses semiotik. Jika demikian hasil yang didapat adalah “mitos itu dialami sebagai suatu perbincangan yang innocent, bukan karena intensinya tersembunyi melainkan karena intensi-intensi ini dianggap biasa.

Karya dari Roland Barthes dalam Mythologies adalah penting untuk dua alasan utama, yaitu pertama: karya ini membuka alur baru dengan mengkombinasikan semiotik dengan teori kritis. Dalam konteks ini dibutuhkan banyak masukan dari teori kritis neo-marxisme. Kedua: karya ini melegitimasikan studi dari kebudayaan populer dalam lingkaran akademik. Di mana studi lainnya pada masa itu masih mengacu pada kebudayaan secara esoteris.

Dalam buku S/Z, Barthes mencoba untuk masuk dalam dunia fiksi, yaitu novel. Kadang studi ini dinyatakan sebagai jembatan yang jelas antara strukturalismenya dan poststrukturalismenya. Isi buku ini lebih pada analisa yang detail tentang sesuatu dibalik sebuah cerita. Argumennya adalah kode-kode ini berada pada konvensi literatur yang spesifik dan kebudayaan kita yang mulai berkembang. Kemampuan kita untuk memaknai suatu teks tergantung dari kualitas kita dalam menggerakan kode-kode tersebut sehingga makna dalam teks tersebut menjadi mungkin dalam zaman kita sekarang ini. Barthes juga menekankan bahwa tak ada makna yang definitif dalam suatu cerita. Dia manyatakan bahwa sekarang ini adalah masa kebangkitan interpreter dalam membaca teks atau lebih jelasnya “kematian sang pengarang’. Barthes berargumen demikian karena setiap kali kita membaca sebuah buku pasti tidak akan memberikan makna yang sama ketika yang kedua kalinya. Dalam hal ini seorang pembaca itu sama baiknya dengan seorang penulis. Disinilah muncul kekuatan atau power seorang pembaca seperti yang diungkapkan oleh Barthes bahwa “untuk menginterpretasikan sebuah teks bukanlah untuk memberikannya sebuah makna literer namun sebaliknya adalah untuk mengapresiasikan apa yang ada menurut sang pembaca, dan ini tak terdeterminasikan.”

Dalam buku The Pleasure of the text, banyak berargumen bahwa tulisan ini masuk dalam bagian “poststruktural” di mana dalam buku ini Barthes mengurangi usaha untuk mengonstruksikan teori yang koheren atau pendekatan sistematis. Pendekatannya adalah aporistik Dalam buku ini ia juga menekankan kegembiraan (pleasure) indrawi dan intelektual yang mungkin datang dari keterikatan dengan teks. Dari sini ia berpendapat bahwa pembaca dapat menafsikan teks berdasarkan kesenangan yang dihasilkan setelah membaca, dan ini hasil tersebut tergantung dari sisi psikologis dan seksualnya. Berkembang dari penafsiran seperti ini munculah argumen tentang jouissance, pandangan yang meliputi sensasi dari pelepasan seksual dan kegembiraan yang meluap-luap. Ia kembali memberi tekanan bahwa kesenangan akan teks itu seperti ada rasa tidak dapat dipikul, tidak mungkin, fiktif, dan seperti merasakan momen orgasme. Dari buku Barthes ini ada perkembangan untuk tidak selalu berpikir rasional dengan berlogika pada struturalisme ortodox melainkan ada perkembangan yang melebar dan menyeluruh di bidang intelektual, fisik, dan emosional.
Buku The Pleasure of the text ini dikenal sebagai buku yang mempengaruhi teori-teori cultural studies. Kekritisan dalam buku ini terletak dalam terbentuknya penerimaan pembaca untuk mengangkat teks seturut dengan kesenangan (pleasure). Juga, pandangan Barthes ini sebagai strategi untuk mengupas arus bawah teks. Teks tidak lagi dipahami sebagai yang intelektual semata, analisa secara literer. Pemahaman akan kesenangan akan pembacaan dianggap sebagai perlawanan terhadap ideologi yang dominan.


MARSHALL SAHLINS

Karya Marshall Sahlins merupakan karya akhir dari strukturalisme ortodox. Di awal karyanya, ia sepertinya seorang antropologis materialis dan kemudian ia berpaling pada strukturalisme kebudayaan. Karya terbaiknya adalah Culture and Practical Reason (1976). Dalam karya ini ia mengkritik suatu pandangan rasional yang berpendapat bahwa tindakan manusia itu dibentuk oleh kepentingan-kepentingan praktis, terutama dalam bidang ekonomi.
Menurutnya kebudayaan adalah yang utama membentuk tindakan manusia. Dalam bidang ekonomi penentuan keperluan dan kebutuhan manusia merupakan hasil dari kebudayaan dan bukan merupakan produk dari pasar. Urusan kebudayaan juga merupakan urusan produk-produk yang dihasilkan karena dengan itu akan ada kode untuk menandakan dan menilai suatu masyarakat, kejadian, fungsi, dan situasi suatu kebudayaan. Maka, tindakan manusia dalam bidang material dan aksi sosial merupakan suatu produk dari kebudayaan.
Sahlins memberikan contoh industri daging sapi di Amerika. Dalam industri ini ia mempertanyakan mengapa industri daging sapi lebih dominan daripada daging babi, kuda, dan anjing? Daging-daging ini sebenarnya baik untuk dikonsumsi dan juga bernutrisi. Apakah kebudayaan yang menetapkan permintaan seperti ini?
Jawabannya ada dalam kode kebudayaan. Kebudayaan telah membentuk kode dalam masyarakat Amerika bahwa dalam memakan daging haruslah membedakan mana binatang yang lebih dekat dengan manusia dan mana yang kurang. Hal ini juga menentukan mana daging yang tidak boleh dimakan (dilarang) dan mana yang tidak. Anjing dan kuda masuk dalam binatang yang dilarang untuk dikonsumsikan karena binantang ini bisa dekat dengan manusia dan dapat memiliki ikatan emosional. Sedangkan sapi dan babi merupakan hewan yang dekat dengan alam dan memakan makanan yang kadang menjadi sisa manusia.***

Globalisasi

GLOBALISASI:
lAHIR DARI KONDISI HISTORIS


“Ia terkejut”. Inilah perasaan yang kemudian muncul ketika Friedrich von Raumer melihat kereta api London-Liverpool. Ia menyatakannya dengan menyebutnya seekor naga, yang cepat, yang menyemburkan api di depan, dan yang meraung-raung sehingga 20 kereta yang ada dibelakangnya mampu dijalankan dengan ringan seperti bocah yang bermain di atas trek yang rata. Ia juga terkejut ketika melihat gunung-gunung dan lembah-lembah yang ditata hanya untuk menyediakan jalan khusus untuk sang naga besi ini. Jalur khusus ini menjadikan daerah tersebut tidak lagi alami melainkan telah diatur sesuai dengan keinginan manusia itu sendiri. Berkaitan dengan manusia, ia kembali terkejut karena manusia dapat mengarahkan kehendaknya terhadap naga tersebut hanya dengan sentuhan jari.
Dalam kisah bangsawan Jerman ini yang berkunjung ke Inggris yang terkejut melihat naga besi yang cepat dan mudah dikuasai manusia, saya melihat faktor moderenitas di sini sangat kuat, teknologi yang berkembang menjadi penentu. Belum terlihat juga dengan jelas apakah sisi globalisasinya juga muncul karena sesuatu yang global lebih ditandakan dengan sesuatu yang homogen. Keadaan global menjadikan segala sesuatu menjadi umum, umum dalam nilai, kebiasaan, teknologi, sistem perekonomian, dan lain sebagainya. Lokalisasi sedikit demi sedikit dikikis dan segala sesuatu yang berbau negara diliberalisasikan. Nah, dalam kisah bangsawan Jerman yang terkejut itu sepertinya masih menandakan bahwa di Jerman ternyata belum ada kereta api yang sama seperti di Inggris. Kereta api tersebut belum menjadi sesuatu yang “worldwide”. Maka, saya kira, kereta api itu hanya menjadi sesuatu yang baru yang lebih tepat disebut hasil modernitas, walaupun akhirnya moderenitas itu mau tak mau terglobalkan.
Berubahnya alat transportasi menjadi kereta api merupakan suatu perubahan ke arah materialisasi. Barang material telah menggantikan panggung gerak manusia sehingga waktu dan ruang juga ikut termaterialisasi. Dengan begitu waktu dan ruang menjadi terdeterminasi. Saya pribadi setelah membaca beberapa artikel tentang globalisasi merasa bahwa faktor ruang dan waktu dalam kisah bangsawan yang terkejut itu belum begitu tercerabut. Contoh mudah ketercerabutan adalah chatting, di mana orang bisa bercengkrama di dua ruang yang berbeda dalam waktu yang sama. Nah, di situlah jelas bisa dilihat terkompresnya waktu dan ruang. Kisah pengiriman surat ke Jerman juga merupakan suatu contoh karena bangsawan yang mengirim surat itu tidak hadir di Jerman ketika surat itu sampai.
Selain itu adanya kereta api yang cepat membuat faktor kecepatan mengalami perubahan yang signifikan. Kecepatan yang terjadi membuat waktu dan ruang ter-decoupling. Maka untuk menyelesaikan misi tidak lagi dibutuhkan kehadiran. Kehadiran yang terikat dengan ruang telah disisihkan dan waktu menjadi penentu perealisasian kehendak. Maka, kecepatan merupakan kunci perubahan yang terjadi. Perubahan waktu dari London ke Liverpool yang terpadatkan merupakan buah dari kecepatan.
Hadirnya naga besi ini memang tidak dipisahkan dari berkembangnya teknologi industri saat itu. Dan berkembangnya teknologi tidak lepas dari modal yang ada dan modal tidak lepas dari pemilik modal. Keterkaitan ini memuncak pada agency. Agen yang memiliki kekuasaan dan juga modal berusaha sedemikian rupa untuk mencari bentuk baru dalam hal teknologi yang mampu untuk lebih memadatkan kecepatan sehingga waktu dan ruang dapat tercerabut. Maka agen-agen pemilik modal menjadi pengagas bagi berkembangnya teknologi saat ini yang kemudian menjadikan dunia ini mengglobal.
Selain sebagai pengagas, pemilik modal juga bisa mempengaruhi dalam taraf mood. Maka bangsawan Jerman yang terkejut bila ia memiliki mood untuk mendapatkan kereta api yang sama dengan Inggris maka sebagai seorang yang berkuasa ia akan mampu mendapatkannya. Mood juga menentukan berkembangnya modernitas karena dengan mood manusia atau orang-orang di dunia ini akan menjadikan segala sesuatu dari suatu negara dikirim dan terkirim sehingga akan menjadi barang yang umum atau sampai pada homogenisasi kondisi. Inilah globalisasi.
Dari kisah yang sederhana di tahun 1835 ternyata mengalirkan kausalitas yang berlimpah. Dari kisah telah dituliskan bahwa gunung telah diratakan dan lembah telah dinaikkan dan ini merupakan suatu bentuk ke arah dunia yang global yang di kemudian hari suatu daerah hanya akan berisi gedung dan aspal. Surat yang mungkin saat itu hanya dikirim lewat kurir kini bisa lebih cepat lagi lewat e-mail atau faximile. Naga besi yang saat itu sudah dikatakan cepat kini menjadi amat sangat cepat. Berbagai kondisi dunia saat ini memang berbeda dengan di tahun 1835 tetapi kondisi-kondisi tersebut merupakan suatu sebab akibat. Evolusi kecepatan semakin besar sehingga waktu dan ruang menjadi ter-distansiasi. Agency menjadi makin berkuasa karena semakin banyak keuntungan yang diraihnya. Inilah globalisasi yang merupakan realitas sekarang ini yang terbentuk karena perkembangan yang pesat dari modernitas. Globalisasi sekali lagi merupakan suatu buah dari moderenitas yang dulu dibanggakan dan dikejutkan. Jadi, globalisasi merupakan suatu keadaan yang dibentuk secara historis, tidak terbentuk begitu saja, oleh berbagai faktor.




DAFTAR PUSTAKA
Harvey, David, Time-Space Compression and the rise of Modernism as a Cultural Force, dalam The Globalisasion Reader oleh F. Lechner dan J. Boli (eds), Oxford: Blackwell, 2000, hlm. 134-140
Priyono, B. Herry, Cangkang Kosong Nasionalisme? Antara Lokal dan Global, dalam seminar Dies Natalis STF Driyarkara.
Tomlinson, John, Globalization and Culture, Cambridge: Polity Press, 1999

Carl Smitt: Tindakan Kekerasan

KEPUTUSAN SUBJEK KEDAULATAN
DAN TINDAKAN KEKERASAN
dalam PARADIGMA POLITIK CARL SCHMITT

Kehidupan pada zaman liberal merupakan bentuk kehidupan yang monoton, menurut Carl Schmitt, karena segalanya diseragamkan dan dihomogenkan oleh hukum. Hukum telah menjadikan kehidupan juga bersifat birokratif dan administratif. Carl Schmitt dengan pandangan politiknya ingin berpaling dari kehidupan ini. Ini ingin manusia hidup dalam perjuangan dan keberanian asalinya di mana dengan begitu manusia mampu menemukan eksistensi dirinya. Maka dari itu, Schmitt mengkritik liberalisme sebagai belenggu keberanian dan kekuatan manusia (=massa). Dalam hidup bernegara hubungan masyarakat dengan negara harus ditandai dengan Yang Politis dan bukan hukum. Inilah intensi Schmitt dalam filsafat politiknya yaitu melestarikan Yang Politis. Yang Politis harus mengatasi segalanya, termasuk hukum atau dengan kata lain konsep negara itu mengandaikan konsep tentang Yang Politis .
Dalam praktek-praktek politis, Yang Politis juga memposiskan diri. Ia berada dalam setiap gerak negara. Yang Politis ada dalam keputusan subjek kedaulatan dan juga dalam tindakan kekerasan. Konsep masyarakat Schmitt adalah masyarakat yang membutuhkan pegangan ketika khaos. Manusia digambarkan jahat dan berbahaya, namun dapat takut oleh otoritas (subjek) kedaulatan. Tindakan kekerasan itu bagai antinomi kawan dan lawan. Dengan konsep seperti ini, Schmitt beranggapan bahwa masyarakat yang berada dalam antinomi ini membutuhkan arah angin atau keputusan sang subjek. Keputusan yang akan membawa mereka pada kehidupan baru yang lepas dari yang sebelumnya. Namun masa ini tidaklah terjadi sekali sehingga sebjek kedaulatan membutuhkan tindakan kekerasan untuk tetap bisa mempertahankan kedaulatannya atau dengan kata lain distingsi kawan dan lawan itu akan terjadi terus menerus.
Dalam paper ini saya akan memfokuskan pada keputusan subjek kedaulatan dan kekerasan menurut Carl Schmitt. Buku yang saya acu adalah “The concept of the Political” dari Carl Schmitt yang sepertinya berbicara tentang tindakan itu sendiri dan juga mengenai keputusan sang subjek kedaulatan atas keadaan darurat . Pada awal saya akan memaparkan mengenai latar belakang dari pemikiran Carl Schmitt yaitu bagaimana zaman modern di masanya telah membuatnya berpikir mengenai negara yang mengucilkan Yang Politis. Kemudian akan dilanjutkan dengan pemikiran Carl Schmitt akan keputusan subjek kedaulatan dan tindakan kekerasan sebagai wujud konkrit kedaulatan. Di akhir saya akan menyimpulkan dan memberi tanggapan kritis yaitu mengenai apakah kedaulatan satu orang mampu membentuk stabilitas suatu negara? Apakah kekerasan benar-benar mampu membangkitkan yang politis? Apakah dengan pemikiran ini kita masuk ke dalam kediktatoran baru?

LATAR BELAKANG
Pemikiran politik Carl Schmitt atas keputusan subjek kedaulatan dan kekerasan massa merupakan suatu kritik terhadap liberalisme, konsep negara hukum yang dikembangkan pada zaman modern. Menurutnya, liberalisme telah gagal atau berakhir . Liberalisme telah membawa kita pada zaman neutralisasi dan depolitisasi. Ini karena hukum telah mensistematisasi segalanya, termasuk tindakan dan keputusan. Semuanya menjadi berproses secara homogen dan seragam menurut mekanisme birokratis negara. Hidup manusia pada masa itu menjadi datar dan tanpa resiko. Konsep negara hukum yang merupakan ciri khasnya dan berserta sistem-sistemnya lebih diprioritaskan daripada yang politis. Keputusan-keputusan yang politis juga berada di bawah konsep negara. Liberalisme telah membawa negara pada kejanggalan setiap tindakan dan keputusan yang politis.
Zaman modern terlalu bergerak dengan hukum, tergantung pada rasionalitas operasional dan bukan pada kekuasaan dan kedaulatan. Negara dengan hukum telah bergerak secara mekanistis dan itu mengurangi kekhasan dari suatu negara. Tak ada lagi kemungkinan yang dapat menspesifikasikan suatu negara karena segalanya telah menjadi homogen. Pada zaman seperti ini, Schmitt beranggapan, Yang Politis tidak mendapat tempatnya dalam masyarakat. Yang politis telah dikuburkan oleh hukum-hukum negara. Akhirnya, arti negara menjadi status politis dari suatu bangsa yang teratur dalam suatu teritori. Dalam hal ini politik itu identik dengan negara .
Schmitt menyatakan bahwa konsep negara itu mengandaikan konsep tentang Yang Politis. Politik seharusnya tidaklah identik dengan negara melainkan mengatasi negara. Bagi Schmitt, identifikasi antara politik dan negara hanyalah salah satu momen historis dan tidak bersifat abadi seperti yang digariskan oleh liberalisme. Yang politis mendahului dan mengatasi yang lain, yaitu negara dan masyarakat. Maka apa yang memang diperlukan, menurut Schmitt, adalah tergantikannya pemikiran liberal yang sistematik dan konsisten itu dengan sistem lain yaitu sebuah sistem yang tidak menegasi yang politis melainkan yang mampu membawanya kepada pengakuan (recognition) . Intensi Scmitt dalam proyek ini adalah untuk menyelamatkan yang politis dan mengembalikannya pada martabatnya yang sesungguhnya.

KEPUTUSAN SUBJEK KEDAULATAN
Untuk memahami lebih jelas mengenai keputusan subjek kedaulatan, penulis akan menganalogikannya dengan keputusan seorang hakim. Dalam memutuskan suatu perkara ada dua model hakim dalam pengadilan kita, yang satu adalah hakim yang hanya ikut tata cara hukum yang berlaku dalam memutuskan dan hakim yang lain adalah hakim yang adil dan berani memutuskan sesuatu atau membuat putus yang kadang lepas dari tata cara hukum yang berlaku. Prinsip keputusan Schmitt ada pada model yang ke dua di mana sang hakim dengan kemampuannya berani mengambil sikap dan tidak seturut dengan hukum yang ada. Peristiwa pengambilan keputusan ini disebut sebagai momen pengambilan keputusan atau momen yang tak terduga.
Keputusan sang subjek kedaulatan selalu merupakan keputusan yang tidak terikat pada apapun. Keputusan tersebut berasal dari ketiadaan (ex nihilo), karena tanpa dasar, tanpa sumber asli, dan tanpa pola yang dapat didugai. Keputusan yang dibuat oleh subjek kedaulatan versi Schmitt seperti halnya lompatan (sprung) dalam permenungan Kierkegaard. Di sini Schmitt ingin menunjukan bahwa adanya keputusan subjek kedaulatan pada akhirnya tak lain daripada sesuatu yang arbiter atau ada dikontinuitas dengan tindakan memutuskan dengan masa lalu . Keputusan ini lepas dari norma-norma hukum kodrat maupun norma-norma hukum positif (=desisionisme ).
Dalam bernegara keputusan seperti ini sangat penting, terutama dalam membangkitkan yang politis. Schmitt menyatakan bahwa tatanan yang politis itu lahir dari keputusan. Hukum yang menghomogenkan atau menyeragamkan tidak mengangkat yang politis melainkan menjadikannya indentik dengan hukum tersebut. Schmitt menolak ini dan menyatakan bahwa negara haruslah tertata dengan hukum di mana negara tersebut selalu berada dalam konflik. Maka dengan adanya konflik, di mana manusia oleh Schmitt dikatakan berbahaya, harus ada otoritas tertentu atau yang politis agar tatanan politik atau hukum dapat tercipta.
Keputusan dan subjek yang (akan) berdaulat akan memiliki peranan penting ketika berada pada keadaan darurat. Dalam keadaan darurat ini momen keputusan sangat diharapkan untuk dapat menata negara. Di sini jugalah yang politis mendapatkan peranannya. Manusia dalam keadaan darurat mulai terlihat jati dirinya yang asli. Khaos merupakan keadaan yang tepat untuk menggambarkan pemikiran Schmitt ini. Maka, dalam keadaan yang serba tak menentu ini masyarakat membutuhkan suatu pegangan untuk mengarahkan diri. Oleh Schmitt, masa seperti inilah yang harusnya dimanfaatkan subjek kedaulatan dengan membuat keputusan. Akhirnya yang terjadi, masyarakat yang berada dalam khaos menjadi tertata dan subjek yang berdaulat menjadi sumber konstitusi . Yang berdaulat adalah, barangsiapa yang mengambil keputusan atas keadaan darurat .

TINDAKAN KEKERASAN
Kekerasan dalam pengertian Schmitt hampir sama dengan pemahaman dari Hobbes. Hobbes dengan state of nature-nya memandang adanya konflik antar individu dikarenakan manusia yang dilahirkan jahat dan berbahaya. Manusia adalah mahluk yang berbahaya dan oleh karena itu haruslah dijinakan dengan sebuah tatanan hukum. Oleh Schmitt pandangan ini diangkat dan disempurnakan bahwa kejahatan manusia harus dilunakkan lewat otoritas dan ancaman kekerasan. Namun, pandangan Schmitt dalam kekerasan ini tidaklah merupakan konflik antar pribadi dan kelompok melainkan konflik antar massa (the social).
Kekerasan massa dalam khaos yang merupakan wujud dari keadaan darurat dapat diselesaikan oleh subjek kedaulatan dengan membuat suatu keputusan atau suatu bentuk kekerasan yang lain. Keputusan di sini mengatasi khaos, mengatasi situasi nol dan menjadi pangkal segalanya yang datang kemudian atau momen di mana kekerasan menemukan eksistensinya. Dengan adanya kekerasan maka yang politis menjadi ada dan tidak lagi terkubur oleh hukum yang birokratif dan administratif.
Kemudian untuk memahami kekerasan yang kemudian akan mendaulatkan Yang Politis ini, Schmitt membuat suatu distingsi yang khas dan bersifat final, yaitu distingsi antara kawan dan lawan. Dalam setiap pandangan pasti ada yang final, misalnya dalam moralitas yang final itu adalah distingsi antara “good” dan “evil” dan dalam estetika ada “beautiful” and “ugly”. Kemudian yang final dari Yang politis itu terdapat dalam distingsi antara “friend (kawan)” dan “enemy (lawan)” itu sendiri. Konsep kawan dan lawan ini bukanlah suatu metafor ataupun simbol melainkan konsep yang harus dimegerti dalam pandangan yang konkrit dan eksistensial . Kawan dan lawan dalam realitasnya selalu bersifat antinomi. Timbulnya antinomi kawan dan lawan mengatasi konsep-konsep yang terdapat dalam masyarakat, seperti moralitas, ekonomi, estetika, dll. Dalam memahami moralitas, ekonomi, dan konsep lainnya kita harus masuk terlebih dahulu ke pandangan Yang Politis, antinomi antara kawan dan lawan. Antinomi ini sangatlah mewarnai Yang Politis dalam mengembangkan masyarakat dan negara. Antinomi ini adalah derajat intensitas yang paling ekstrim yang mampu menghisap segala antinomi lain ke dalam wilayahnya . Maka, distingsi ini secara total menjadi dasar tindakan-tindakan dan motif-motif politis.
Konsep lawan, menurut Schmitt, bukanlah konsep seseorang menjadi “competitior” atau musuh pribadi melainkan sebagai partner dalam konflik . Seorang lawan hanya ada jika terjadi suatu konfrontasi secara kolektif. Konflik akhirnya menjadi khaos dan ini disebut sebagai masa krisis namun kemudian, oleh Schmitt, diharapkan ada “order” setelah dibuat suatu keputusan. Maka antinomi antara kawan dan lawan merupakan prinsip diferensiasi yang mengawali lahirnya sebuah sistem.
Konsep lawan tidak bisa bersikap netral. Jika demikian maka Yang Politis akan berakhir dan kemudian jatuh pada neutralisasi dan depolitisasi yang akan membuat masyarakat menjadi datar. Maka untuk menjadikan Yang Politis tetap hidup, Schmitt menyatakan, bahwa kekerasan (perang) haruslah menjadi salah satu kemungkinan . Dunia yang tanpa ada kemungkinan untuk berperang atau dunia yang memang sudah damai dan tenang, oleh Schmitt, dikatakan sebagai dunia yang tanpa distingsi antara kawan dan lawan dan ini juga berarti dunia tanpa Yang Politis. Maka untuk tetap menghidupi dunia (negara) Yang politis harus tetap dikembangkan di mana sang subjek kedaulatan selalu siap sedia membuat keputusan dalam keadaan krisis. Kekerasan harus siap sedia setiap saat.

KESIMPULAN DAN TANGGAPAN
Melihat uraian Schmitt di atas yang merupakan ciri khas distingsi antara kawan dan lawan ternyata mampu menggerakan tindakan kekerasan sang subjek kedaulatan. Hal ini kemudian bisa membenarkan praktek militerisme yang kerap terjadi dewasa ini. Di sini individu dimasukan ke dalam kolektivitas dan kemudian kolektivitas itu diajak untuk melawan kolektivitas yang lain. Massa dimobilisasi melawan masa, individualitas tak ada lagi dan darah dijadikan lambang kekuatan kedaulatan. Suatu negara mendeferensiasikan diri dari negara yang lain. Perdamaian antara kawan dan lawan tidak dinyatakan sebagai sebuah akhir yang abadi melainkan hanya suatu masa di mana di kemudian hari akan terjadi konflik kembali. Hal ini ditujukan untuk menciptakan krisis atau keadaan darurat sehingga sang subjek kedaulatan dapat membuat keputusan untuk mempertahankan kedaulatannya. Dalam pandangan ini, titik puncak politik agung merupakan momen terlihatnya lawan dalam segala kekonkretannya sebagai lawan dalam suatu tindakan kekerasan. Kekerasan tidak pernah lepas dari keputusan sang subjek kedaulatan. Keduanya berkerja bersama untuk menyelamatkan Yang politis dan menempatkannya sesuai dengan martabatnya.
Filsafat Politik Schmitt memang mengagumkan. Ia menginginkan dunia ini tetap berjalan dengan penuh perjuangan dan mencoba menghindar dari positivisme yang mendatarkan kehidupan bermasyarakat atau bernegara. Ia mencoba membuat manusia keluar dari hukum-hukum yang mengatur kehidupan mereka. Dengan bangkitnya Yang Politis manusia akan bisa menemukan kegairahan dalam perjuangan entah dengan pertentangan ataupun perang, sebagai penyelesaian yang ekstrim. Semuanya berjalan menuju suatu “order” yang diinginkan, terutama yang diinginkan oleh sang subjek kedaulatan. Keputusan sang subjek kedaulatan menjadi titik pijak dalam menata negara di kemudian hari.
Saya pribadi menyatakan teori ini sebagai teori metafisis yang cemerlang dan yang mau membawa dunia kepada pengatur atau pemimpin yang tunggal di mana pemimpin itu adalah subjek yang mampu membuat keputusan yang berkualitas dan bermartabat. Jika ini terjadi maka dunia akan menjadi teratur dan selalu berkembang. Namun, kecenderungan buruk bisa saja terjadi ketika dengan teori ini satu orang atau sang pemimpin itu sendiri mampu mendapatkan kedaulatan dan mayoritas kehilangan jati diri dan juga kedaulatannya. Tambah lagi, kekerasan merupakan alat atau sarana yang dipakai untuk mewujudkan kedaulatan dan membuat keputusan. Keadaan darurat sepertinya bukan kondisi yang alami terjadi melainkan hasil kreasi untuk memposisikan yang politis.
Maka, setelah mempelajari filsafat politik ini dan membaca beberapa literatur yang membantu, saya beranggapan bahwa dengan keputusan yang dibuat oleh sang subjek kedaulatan dalam mengatasi kekerasan atau keadaan darurat sepertinya tidak mencerminkan keadilan. Keputusan yang dibuat oleh satu orang dan harus ditaati oleh sekelompok orang bisa bersifat arbitrer dan subjektif pada dirinya, bila diselewengkan. Jika demikian, pandangan desisionisme ini mengafirmasi kediktatoran di mana hal tersebut bisa dipimpin oleh pihak yang menang dan kuat entah itu segerombolan orang jahat. Kalau begini prosesnya, maka keadilan tak akan tercapai. Keadilan merupakan ciptaan dari penguasa. Tambah lagi, tak adanya sistem dalam negara ini akan membuat stabilitas mudah goyah. Sistem harus dibentuk dan dikuatkan dan ini membutuhkan waktu yang lama dan tidak bisa begitu saja dihilangkan hanya untuk membuat keputusan yang sprung dan demi Yang Politis.
Adanya dikotomi kawan dan lawan sepertinya membuat hidup di dunia ini tidak aman. Memang dasar pemikirannya adalah manusia yang jahat, namun adanya martabat manusia yang jahat tidak selalu akan mencerminkan suatu permusuhan. Bisa saja ada persahabatan di antara yang jahat. Antinomi kawan dan lawan dalam pemikiran Schmitt saya rasa sangatlah mereduksi apa yang dinamakan persahabatan. Dunia sepertinya tidak selamanya dan secara keseluruhan hidup dalam konflik. Pasti ada beberapa sisi baik yang diwujudkan. Salah satunya adalah cinta, bisa saja dunia ini diciptakan atas dasar cinta (universal) di mana dengan berdasar pada itu keadilan dan keutamaan yang lain teratasi.



DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996
Hardiman, F. Budi. Kedaulatan dan Krisis menurut Carl Schmitt, dalam Manuskrip Filsafat Politik STF Driyarkara, 2001
Schmitt, Carl. Concept of the Political, Chicago: Univ Press, 199